Pertama, karena pajak atas gaji mereka telah dibayarkan langsung oleh perusahaan. Ini memang yang paling lazim terjadi.
Artinya, yang ditransfer oleh perusahaan ke rekening si karyawan adalah jumlah setelah dipotong pajak.Â
Jika karyawan meneliti ke slip gajinya, baru akan ketahuan besar perhitungan pajaknya.
Hanya saja, karena pembayaran gaji via rekening bank, slip gaji pun yang biasanya dikirim secara online atau via email, kadang-kadang tidak diperhatikan karyawan.
Sepanjang sudah ada notifikasi dari bank bahwa ada transfer masuk untuk pembayaran gaji, karyawan biasanya tak begitu peduli dengan slip gaji.
Kedua, ada kemungkinan, siapa tahu masih ada perusahaan yang melaporkan daftar gaji karyawan yang berbeda dengan yang sesungguhnya ditransfer ke semua karyawan.
Umpamanya, gaji para karyawan Rp 4,7 juta per orang. Karena di atas Rp 4,5 juta, sesuai ketentuan sampai akhir tahun 2022, harusnya dipotong pajak sebesar 5 persen. Tapi, yang dilaporkan oleh perusahaan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah Rp 4,4 juta per karyawan setiap bulan.
Sehingga, perusahaan merasa nyaman-nyaman saja dengan tidak memungut dan menyetorkan pajak karyawannya.
Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi KPP untuk mendeteksi adanya praktik yang melanggar ketentuan seperti di atas.
Ketiga, kemungkinan lain adalah yang terjadi pada perusahaan skala rumah tangga, yang berani menggaji karyawan tertentu yang punya keahlian khusus sebesar Rp 5 juta ke atas.
Tapi, karena ketidaktahuan atau kelalaian si pemilik usaha, karyawan tersebut tidak dipungut dan tidak disetorkan pemotongan pajaknya ke kas negara.