Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Republika Tumbang, Kompas Bisa Bertahan Sampai Kapan?

17 Januari 2023   04:33 Diperbarui: 19 Januari 2023   13:30 3713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto tumpukan sejumlah koran yang terbit di Jakarta, Rabu (22/5/2019). Di tengah gempuran media sosial, media arus utama saat ini masih menjadi acuan informasi bagi warga. Foto: Kompas/WISNU WIDIANTORO

Internet telah mengubah banyak hal dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam hal cara berbisnis, yang ibaratnya telah terjadi revolusi besar yang harus diikuti oleh pelaku usaha.

Jika ada pelaku usaha yang tak mampu mengikuti atau beradaptasi dengan kemajuan teknologi, bisa dipastikan bahwa usahanya akan mengalami kemunduran, bahkan bisa bangkrut.

Ambil contoh  bisnis media cetak seperti koran dan majalah, satu per satu bertumbangan alias tidak terbit lagi.

Yang terakhir, Harian Republika yang terbit sejak 4 Januari 1993, sudah tamat riwayatnya sejak 1 Januari 2023 yang lalu. 

Tapi, sebagai media, Republika akan tetap berlanjut dengan fokus pada format digital, seperti yang diumumkan oleh pihak redaksinya dan beredar di media sosial Desember 2022 lalu.

Koran Republika yang di awal kelahirannya sangat jelas menyasar pembaca kalangan menengah muslim di tanah air, memang wajar memilih langkah mematikan versi cetaknya.

Soalnya, pendapatan dari iklannya merosot tajam, jika dilihat dari langkanya iklan di koran tersebut.

Sebetulnya, dari dulu pun iklan tidaklah banyak di Republika, dibandingkan dengan Kompas (iklan umum), Pos Kota (iklan baris), dan Bisnis Indonesia (iklan laporan keuangan perusahaan).

Namun, Republika beruntung karena punya pembaca setia yakni mereka yang berkecimpung di organisasi masyarakat berlabel Islam dan civitas academica perguruan tinggi Islam.

Tapi, Republika boleh dibilang gagal mengkader para pembacanya, sehingga ketika pembaca tua meninggal dunia, belum muncul pembaca remaja sebagai penggantinya.

Akibatnya, tiras koran tersebut menurun dan diduga tidak lagi mampu menutupi biaya operasional pencetakan dan pendistribusian koran.

Alasan kegagalan pengkaderan pembaca juga dialami oleh media cetak yang lebih dulu bangkrut sebelum Republika.

Soalnya, seperti telah dipaparkan di atas, dengan adanya internet, anak muda dan para remaja lebih familiar dengan media sosial, dan merasa tak membutuhkan media cetak.

Kalaupun mereka membutuhkan berita tertentu, akan didapatnya dengan gampang dari media daring.

Disadari atau tidak, kehadiran Republika ada kaitannya, meskipun tidak secara langsung, dengan koran terbesar di tanah air, Kompas.

Ada sentimen keagamaan yang bermain sewaktu Republika lahir. Kompas dianggap sebagai koran yang paling berpengaruh karena menjadi referensi para eksekutif, termasuk bagi pejabat negara.

Harus diakui, berita dan opini di harian Kompas cukup lengkap, akurat, dan analisisnya tajam.

Lagipula, dengan pengalamannya terbit sejak 28 Juni 1965, Kompas sudah punya kebijakan keredaksian yang teruji.

Kesejahteraan jurnalis Kompas termasuk tinggi, sehingga mereka menulis dengan nyaman.

Larangan menerima "amplop" dipatuhi oleh segenap keluarga besar Kompas, karena risikonya bisa langsung dipecat kalau melanggar.

Masalahnya, sebagian pihak menilai Kompas bukan menyuarakan aspirasi umat Islam. Inilah yang coba dijawab oleh Republika.

Ketika itu, media cetak yang ada belum bisa dinilai mewakili aspirasi kalangan cendekiawan muslim atau calon cendekiawan muslim.

Sebetulnya, meskipun pemilik Kompas non muslim, secara kebijakan keredaksian sudah memperlihatkan sikap yang independen.

Cukup banyak Kompas memberi tempat pada tokoh intelektual muslim seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan sebagainya.

Tapi, kehadiran Republika dengan nuansa Islami yang lebih kental, memang pernah menjadi kebanggaan tersendiri bagi pembacanya.

Apapun juga, Republika sudah memilih takdirnya untuk menutup versi cetak. Semoga saja versi digitalnya semakin berkembang.

Republika bukan korban pertama dari kehadiran koran daring. Sebelumya sudah pula ditutup Koran Tempo, Suara Pembaruan, Merdeka, Suara Karya, Indopos, dan sebagainya.

Pertanyaannya sekarang, meskipun dengan jumlah halaman yang makin tipis, sampai kapan Kompas mampu bertahan?

Harus diakui, sebagai bagian dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG), pengelolaan keuangan Kompas diperkirakan masih baik.

Justru karena media cetak makin sedikit, orang kantoran yang berlangganan Kompas masih tetap menjadi pembaca setia.

Karena pelanggan Kompas rata-rata warga kelas menengah ke atas, kenaikan harga koran pun relatif tidak berdampak pada pelanggannya.

Namun, Kompas juga punya masalah dengan pengkaderan pembaca, meskipun telah menyisipkan "Kompas Muda" pada edisi Minggu.

Menyadari hal tersebut, manajemen Kompas menggenjot perkembangan Kompas.id yang merupakan versi daring dari Kompas cetak.

Selain itu, KKG masih punya media daring yang cukup populer, yakni Kompas.com dan Tribunnews.com.

Namun, untuk versi cetak, sudah beberapa yang ditutup oleh KKG seperti Tabloid Bola, Tabloid Nova, dan Majalah Bobo.

Diduga, jika Kompas.id sudah berkembang pesat, dan nantinya versi cetak betul-betul sudah ditinggalkan pembaca, manajemen Kompas siap menghadapinya.

Era ketika media cetak masih berjaya|dok. detik.com/Hasan Alhabshy, dimuat cnnindonesia.com
Era ketika media cetak masih berjaya|dok. detik.com/Hasan Alhabshy, dimuat cnnindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun