Ketika itu, media cetak yang ada belum bisa dinilai mewakili aspirasi kalangan cendekiawan muslim atau calon cendekiawan muslim.
Sebetulnya, meskipun pemilik Kompas non muslim, secara kebijakan keredaksian sudah memperlihatkan sikap yang independen.
Cukup banyak Kompas memberi tempat pada tokoh intelektual muslim seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan sebagainya.
Tapi, kehadiran Republika dengan nuansa Islami yang lebih kental, memang pernah menjadi kebanggaan tersendiri bagi pembacanya.
Apapun juga, Republika sudah memilih takdirnya untuk menutup versi cetak. Semoga saja versi digitalnya semakin berkembang.
Republika bukan korban pertama dari kehadiran koran daring. Sebelumya sudah pula ditutup Koran Tempo, Suara Pembaruan, Merdeka, Suara Karya, Indopos, dan sebagainya.
Pertanyaannya sekarang, meskipun dengan jumlah halaman yang makin tipis, sampai kapan Kompas mampu bertahan?
Harus diakui, sebagai bagian dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG), pengelolaan keuangan Kompas diperkirakan masih baik.
Justru karena media cetak makin sedikit, orang kantoran yang berlangganan Kompas masih tetap menjadi pembaca setia.
Karena pelanggan Kompas rata-rata warga kelas menengah ke atas, kenaikan harga koran pun relatif tidak berdampak pada pelanggannya.
Namun, Kompas juga punya masalah dengan pengkaderan pembaca, meskipun telah menyisipkan "Kompas Muda" pada edisi Minggu.