Populasi dunia saat ini sudah demikian padat karena dihuni oleh 8 miliar manusia. Tentu saja, banyak konsekuensi yang harus dihadapi akibat ledakan penduduk.
Pertama, terkait soal pangan akan muncul kekhawatiran, apakah produksi pangan mencukupi untuk 8 miliar mulut yang masing-masing makan tiga kali sehari.
Sejak meletus perang Rusia-Ukraina, pasokan gandum yang menjadi bahan pangan utama di berbagai belahan dunia, menjadi terganggu.
Bayangkan bila perang berlama-lama, tentu kondisi ini bisa mendatangkan krisis pangan bagi umat manusia yang jumlahnya selalu bertambah.
Kedua, terkait soal energi, yang seperti halnya pangan, juga terganggu gara-gara perang. Krisis energi akan berdampak jauh lebih luas, karena berbagai industri di seluruh dunia membutuhkannya.
Jadi, kalau energi langka, bisa-bisa banyak pabrik yang berhenti berproduksi. Dampaknya akan terjadi PHK massal di mana-mana.
Kalau pengangguran bertambah seiring kenaikan jumlah penduduk, tentu tingkat kesejahteraan warga dunia menurun.
Ketiga, sumber air bersih yang semakin terbatas. Hal ini berkaitan juga dengan lingkungan yang semakin memburuk kualitasnya akibat dieksploitasi demi memenuhi kebutuhan manusia.
Keempat, ketersediaan lahan untuk pemukiman seluruh penduduk yang semakin terbatas, sebagian terpaksa dengan menggusur kawasan konservasi.
Kelima, soal sampah yang semakin pelik penanganannya, mulai sampah pabrik hingga sampah rumah tangga. Setiap penambahan penduduk, identik dengan penambahan sampah.
Masih banyak tentunya konsekuensi lain yang harus diantisipasi. Tapi, dengan beberapa contoh di atas, sudah mewakili bahwa ada banyak hal yang mencemaskan dengan jumlah penduduk dunia.
Artinya, menjadi sangat wajar bila laju pertumbuhan penduduk perlu ditekan. Namun, hal ini tak bisa hanya menjadi urusan satu negara saja, sebaiknya menjadi concern seluruh dunia.
Ironisnya, beberapa negara punya kebijakan yang malah dengan sengaja menginginkan penambahan penduduk yang lebih banyak.
Mereka takut populasinya menjadi menua, dalam arti jumlah penduduk lansia semakin dominan. Sementara kelahiran bayi di negara mereka dinilai masih rendah.
Indonesia sendiri dulu ketat mengatur agar setiap rumah tangga maksimal hanya punya 2 anak melalui Program Keluarga Berencana (KB).
Tapi, kita merasakan sekarang ini program KB mulai lebih longgar. Akibatnya, cukup banyak keluarga yang punya anak lebih dari dua.
Jadi, sepertinya dalam menangani persoalan penduduk, masing-masing negara hanya menyelamatkan negaranya sendiri.
Ada negara yang tetap mendorong pembatasan kelahiran, tapi tak sedikit pula negara yang justru menginginkan sebaliknya.
Padahal, makin lama dunia makin menyatu. Maksudnya, alangkah baiknya ada kesepakatan bersama antar semua negara dalam soal penduduk, karena saling terpengaruh.
Secara alami, warga dari negara yang padat penduduk dengan sumber daya terbatas akan berimigrasi ke negara kaya yang penduduknya belum terlalu padat.
Kembali ke soal negara yang mendorong warganya punya banyak anak, berikut ini 4 negara maju yang mengambil kebijakan seperti itu (Okezone.com, 13/11/2022).
Pertama, China yang dulunya pernah punya "kebijakan satu anak" pada 1980, kemudian berubah jadi dua anak, dan sejak 2015 berubah lagi jadi tiga anak.
Meskipun China hingga sekarang masih negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, namun pemerintahnya khawatir jumlah tenaga kerjanya menyusut bila masih membatasi kelahiran.Â
Lagipula, berdasarkan statistik laju pertumbuhan penduduk, diperkirakan China nanti akan dikalahkan oleh India.
Kedua, Rusia mengambil kebijakan yang lebih ekstrim gara-gara krisis demografis akibat pandemi. Presiden Putin menawarkan uang kepada perempuan yang punya anak 10 atau lebih.
Ketiga, Singapura yang pemerintahnya memberikan dana cukup menggiurkan bagi warganya yang punya 3 anak atau lebih.
Singapura juga cukup cerdik, menambah penduduk dan juga agresif memperluas lahan melalui program reklamasi.
Keempat, Jepang yang menghadapi masalah pelik karena banyak warganya enggan menikah. Makanya, dibuat program "mak comblang", memberi cuti hamil berbayar dan tunjangan melahirkan.
Begitulah, tampaknya laju pertumbuhan penduduk akan timpang antara negara yang membatasi kelahiran dibandingkan negara yang mendorong banyak kelahiran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI