Betul, Anies Baswedan sudah dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai capres yang bakal diusung pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Tapi, Anies sama sekali belum dalam posisi aman, dalam arti belum bisa dipastikan apakah nanti akan tampil sebagai capres, atau hanya sekadar jadi penonton.
Soalnya, Nasdem tidak memenuhi syarat jika tak berkoalisi dengan partai lain. Hanya PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengsusung capres tanpa perlu bantuan partai lain.
Memang, Nasdem sudah cukup dekat dengan 2 partai, yakni Demokrat dan PKS. Namun baru sebatas sering ketemu dan sepakat mengusung Anies.
Masalahnya, harus juga disepakati siapa cawapresnya. Nah, di sini bermula ketidakcocokan atara ketiga parpol tersebut.
Jika hanya 2 partai saja yang sepakat, katakanlah Nasdem dan Demokrat atau Nasdem dan PKS, tak ada artinya. Harus ketiganya agar memenuhi syarat untuk mendaftarkan pasangan capres-cawapres.
Wajar sebetulnya jika Demokrat menyorongkan sang ketua umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendamping Anies.
Tapi, sangat wajar pula jika PKS kebelet memasangkan Anies dengan Ahmad Heryawan (Aher) yang sudah terbukti berhasil 2 periode menjadi Gubernur Jawa Barat.
Hanya saja, kalau masing-masing ngotot mempertahankan pendapatnya, tidak bakal ada kesepakatan sampai kapan pun.
Nasdem yang diharapkan sebagai penengah sebetulnya menginginkan figur independen non-partai sebagai cawapres.
Tapi, Nasdem juga mengatakan tidak ingin "kawin paksa", maksudnya biarkan Anies memilih siapa yang dirasa cocok mendampinginya.
Meskipun begitu, jelas akan jadi beban tersendiri bagi Anies, jika pilihannya mengerucut pada AHY atau Aher.
Jika ditanya, Anies lebih cocok dengan AHY atau Aher, mungkin Anies tidak akan berbicara blak-blakan, agar tidak menyakiti salah satu pihak.
Anies pernah menyebut 3 kriteria pendampingnya, yakni memberikan kontribusi dalam pemenangan, membantu memperkuat stabilitas koalisi, dan membantu dalam pemerintahan yang efektif.
Jika kontribusi di atas maksudnya elektabilitas atau "logistik", AHY lebih unggul ketimbang Aher.Â
AHY punya elektabilitas mengacu pada sejumlah lembaga survei, meskipun kecil persentasenya. Tapi, Aher malah tidak masuk radar lembaga survei, seperti yang dilakukan Litbang Kompas.
Soal membantu memperkuat stabilitas koalisi, peluang AHY dan Aher bisa dikatakan fifty-fifty.
Terakhir, soal membantu pemerintahan yang efektif (bila nantinya memenangi pilpres), Aher justru lebih unggul karena itu tadi, pengalaman 2 kali jadi gubernur.
Sementara itu, AHY baru berpengalaman di dunia militer. Pernah jadi calon gubernur DKI Jakarta, tapi langsung kalah pada putaran pertama.
Sekadar menebak-nebak saja, dalam hati Anies, jika hanya pilihannya AHY atau Aher, mungkin sedikit condong kepada AHY.
Tapi, PKS tak bisa diabaikan Anies karena sering pasang badan saat Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta.Â
Dulu PKS cukup nyaring meng-counter kritik terhadap kebijakan Anies. Padahal, PKS gagal dapat kursi wagub yang ditinggalkan Sandiaga Uno.
Jadi, sebaiknya Anies pilih yang lain saja? AHY pasti kecewa berat, demikian pula PKS.Â
Kalau begitu, koalisi Nasdem-Demokrat-PKS terancam batal? Biarkan waktu yang menjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H