Ini kisah nostalgia zaman jadul. Ketika itu saya masih bersekolah di SMP 1 Payakumbuh, Sumbar, sekitar pertengahan dekade 1970-an.
Tentu saja suasana SMP zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang. Soal berpakaian saja, dulu belum berseragam putih biru seperti yang berlaku secara nasional saat ini.
Tapi, masing-masing sekolah berhak menentukan seragamnya, asal bajunya putih. Sedangkan celana pendek atau rok di setiap SMP di Payakumbuh, berbeda-beda.
Kebetulan, SMP 1 Payakumbuh pakai seragam putih-hitam. Belum satupun pelajar putri yang pakai jilbab seperti yang kini banyak kita temukan.Â
Ketika itu, yang namanya pelajaran Matematika terpecah dalam 2 mata pelajaran, yakni Aljabar dan Ilmu Ukur.
Nah, yang ingin saya ceritakan adalah guru Aljabar di Kelas 1 SMP. Namanya Ibu Rosna Kanan yang sangat ditakuti murid-murid.
Setiap akan mengakhiri pelajaran, pasti ada PR yang lumayan banyak yang diberikan Bu Rosna.
Saya sendiri memilih tidak menunda-nunda mengerjakan PR. Biasanya, setelah makan siang, saya dapat tugas menjaga warung kecil di depan rumah.
Warung tersebut tempat ibu saya berjualan rokok, makanan ringan, minyak tanah, kayu bakar, dan sebagainya.Â
Adapun ayah saya berjualan sepatu dan sandal di sebuah kios di kawasan pusat kota Payakumbuh, sekitar 1 kilometer dari rumah kami.
Jadi, saya mengerjakan PR sambil menjaga warung. Karena saya menyimak penjelasan guru di kelas dan rajin mencatat, bagi saya tidak terlalu sulit untuk menyelasaikan PR.
Soal-soal yang dijadikan PR tidak jauh berbeda dengan contoh yang saya catat di kelas. Yang penting mengerti penggunaan rumus, PR bisa diselesaikan.
Suatu kali (saya lupa entah karena apa), saya tidak mengerjakan PR Aljabar. Begitu Bu Rosna masuk kelas saya langsung ketakutan.
Soalnya, pasti beliau akan menyuruh masing-masing murid memperlihatkan PR yang sudah dikerjakan di rumah.
Yang tidak membuat PR, akan dapat hukuman. Masing-masing diminta membuka telapak tangan, lalu Bu Rosna memukul telapak tangan dengan penggaris.
Sebetulnya sakit karena dipukul tidak begitu terasa. Tapi, malunya itu yang membuat saya gemetar.
Itulah satu-satunya pengalaman saya selama bersekolah mendapatkan hukuman fisik. Bagi beberapa teman saya, hukuman seperti itu jadi hal biasa.
Memang, cara guru-guru memberi hukuman fisik, dulu dianggap wajar. Seingat saya ada juga guru lain yang memeberi hukuman dengan berdiri di depan kelas
Hukuman berjemur di lapangan bagi murid yang tak ikut upacara bendera pada Senin pagi, juga hal yang lumrah waktu itu.
O ya, sebetulnya saya pernah punya guru kelas 6 SD yang juga pemarah, dan kebetulan juga bernama Rosna. Lengkapnya, Rosna Latab.
Tapi, bu Rosna ini kepada saya malah sayang, soalnya saya dinilai anak yang rajin dan berprestasi.
Saya tidak begitu mengetahui, apakah guru sekarang masih ada yang memberikan hukuman secara fisik seperti dulu.
Dugaan saya mungkin sudah tidak ada, kalaupun ada hanya segelintir saja. Bukankah hukuman fisik sudah tidak cocok lagi, dan malah guru bisa disalahkan orangtua murid.
Hal lain, sekarang malah ada wacana kalau siswa dibebaskan PR. Ya, asal siswa tetap mampu menguasai materi pelajaran dengan baik, meskipun tanpa PR, menurut saya sih oke-oke saja.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H