Hal ini bisa terlihat sewaktu acara resepsi pernikahan. Ada yang memakai adat Jawa, Sunda, Betawi, Minang, Palembang, Bugis, dan sebagainya.
Tapi, banyak pula acara seremonial yang mengikuti kebiasaan atau tata cara yang sudah diterima secara nasional.
Kemampuan beradaptasi menjadi kata kunci dalam menerapkan filosofi perantau itu tadi, yakni di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Agar mampu beradaptasi, pertama, tentu diawali dengan kemauan untuk mempelajari berbagai hal terkait kebiasaan dan adat istiadat dari teman-teman yang berasal dari berbagai suku.
Bahkan, akan lebih baik lagi bila punya kemampuan berbahasa daerah lain, paling tidak untuk percakapan sehari-hari yang lazim terjadi.
Tapi, kita sebagai orang Indonesia sangat beruntung punya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bila takut salah pengucapan atau salah tafsir, sebaiknya berbicara dengan bahasa Indonesia saja.
Kedua, jika ada yang tabu menurut etnis tertentu, padahal mungkin hal yang biasa saja bagi etnis lain, ini perlu menjadi perhatian agar tidak terjadi salah persepsi yang berakibat fatal.
Sebaiknya hal tabu tersebut tidak dilakukan. Namun, bagi etnis lain jangan cepat tersinggung bila melihat orang lain melakukan atau mengucapkan hal tabu itu.
Barangkali hal itu terjadi karena ketidaktahuan semata-mata. Beritahukan secara baik-baik, agar hal tabu itu tidak akan diulanginya.
Saling memaafkan adalah cara yang bijak bila ada kesalahpahaman dalam berkomunikasi antar etnis atau suku yang berbeda.
Ketiga, janganlah satu etnis melecehkan dengan memberi stigma negatif pada orang etnis lain. Jika ada suku tertentu yang nada berbicaranya keras, tak berarti etnis tersebut berperilaku kasar.