Kedua, saat saya baru berkeluarga, saya berkesempatan tinggal di rumah yang disediakan perusahaan tempat saya bekerja di bilangan Pramuka, Jakarta Pusat.
Ada 45 kepala keluarga tinggal di perumahan tersebut, semuanya teman dan senior saya di kantor.
Karena sudah saling mengenal, tentu saja hubungan antar tetangga berjalan dengan baik.Â
Di situlah anak pertama saya dapat teman sebaya yang merupakan anak dari teman saya.
Istri saya mau tak mau harus ikut arisan ibu-ibu, ada kelompok pengajian yang cukup aktif, ada pula kegiatan main tenis bersama di hari libur.
Cukup nyaman sebetulnya tinggal di sana. Tapi, kelemahannya secara diam-diam sering saja ada omongan yang membanding-bandingkan kekayaan antar teman sendiri.
Itulah tidak enaknya bertetangga dengan rekan kerja sendiri. Masing-masing sudah saling mengetahui berapa gajinya, tapi kok ada teman yang punya ini punya itu dan tiap sebentar ke luar negeri.
Namun, bukan gara-gara itu saya mencari rumah sendiri yang saya dapatkan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Saya menyadari bahwa rumah dinas bukanlah rumah sendiri, sehingga mau tak mau, saat dimutasi ke daerah atau saat pensiun, harus dilepas.
Di lain pihak, harga rumah cenderung naik terus setiap tahun. Maka, mantaplah saya untuk tinggal di rumah sendiri, meskipun saat itu belum pensiun.
Jadi, versi ketiga dalam hidup bertetangga di Jakarta adalah saat tinggal di rumah sendiri dan masih saya jalani hingga saat ini.