Saya menerima pesan dari Pak Etek (adik laki-laki ayah, dalam bahasa Minang), berupa permintaan untuk mengirimkan donasi untuk pembangunan masjid di sebuah SMP di Kabupaten Agam, Sumbar.
Pak Etek sendiri hanya meneruskan pesan yang diterimanya kepada saya. Rupanya, Pak Etek adalah alumni dari SMP tersebut pada awal tahun 1960-an.
Ya, karena sekarang gampang mendata alumni sekolah berkat adanya media sosial, maka panitia pembangunan masjid mengirim permohonan sumbangan kepada para alumni.
Atau, bisa juga Pak Etek salah seorang alumni yang harum namanya, karena dulu sering menyumbang untuk pembangunan di kampung halamannya.
Sejak 5 tahun terakhir, karena alasan kesehatan, usaha Pak Etek di bidang handicraft yang punya outlet di Pasaraya dan Pasar Seni Ancol, sudah ditutup total.
Dugaan saya, kemampuan Pak Etek untuk memberikan donasi sudah jauh menurun dibandingkan seperti masa jayanya dulu.
Makanya, Pak Etek berharap saya ikut memberi sumbangan, meskipun saya bukan alumni SMP tersebut. Tidak hanya saya, beberapa keponakannya yang lain juga dikirimi pesan serupa.
Begitu saya baca pesan tersebut yang juga menyertakan gambar rancangan masjid yang akan dibangun, saya cukup terkesima.
Menurut saya, masjid tersebut terlalu megah sebagai masjid di lingkungan SMP. Gambarnya sudah mirip dengan masjid di jalan protokol ibu kota kabupaten.
Namun, tentu panitia pembangunan tidak salah. Kalau mampu membangun masjid bagus, meskipun di halaman sekolah, kenapa tidak?
Seketika saya teringat bahwa di Jakarta juga banyak SMP dan SMA yang punya masjid bagus dan luas. Salah satunya saya sertakan fotonya pada tulisan ini, yakni masjid di SMA 40 Jakarta.Â