Indonesia pantas bersyukur dengan terpeliharanya banyak bangunan stasiun kereta api peninggalan era kolonial. Bangunan tersebut sekarang punya nilai sejarah yang sangat berharga.
Tapi, jangan lupa, sejumlah stasiun sudah berubah fungsi, karena tidak dipakai lagi. Bisa jadi karena stasiun tersebut tidak lagi dilalui kereta api.
Tentu banyak pertimbangan kenapa rute kereta api tertentu terpaksa ditutup. Bisa jadi karena minat warga sekitar yang rendah dan lebih memilih moda transportasi lain.
Bagi sebagian warga Sumbar yang lahir sebelum tahun 1970-an, mungkin masih punya memori kereta api. Soalnya, hingga saat itu, kereta api masih beroperasi yang menghubungkan beberapa kota.
Contohnya, jalur Payakumbuh-Bukittinggi-Padang Panjang, rutin dilalui kereta api berbahan bakar batubara. Jadi, bila kereta lagi jalan, asap hitamnya akan membumbung tinggi.
Namun, ketika warga akhirnya memilih naik kendaraan umum jenis mobil colt yang melayani rute Payakumbuh-Bukittinggi, kereta api pun ditinggalkan penumpang.
Betapa tidak, dengan mobil colt, jarak Payakumbuh-Bukittinggi sejauh 33 km bisa ditempuh selama 45 menit. Sedangkan dengan kereta api membutuhkan sekitar 2 jam 30 menit.
Jangan bayangkan  kereta api batubara seperti kereta api yang sekarang beroperasi yang mampu bergerak kencang.Â
Buktinya, kereta api yang melayani Padang-Pariaman dan Padang-Bandara Internasional Minangkabau yang sekarang beroperasi, cukup diminati masyarakat.
Mudah-mudahan kereta sejenis bisa dioperasikan denga membuka kembali jalur Payakumbuh-Bukittinggi.
Baik, kita lanjut ke kisah lain. Di stasiun peninggalan Belanda yang relatif sepi, biasanya ada saja kisah mistis yang oleh sebagian masyarakat setempat dipercayai karena ada "penunggu"-nya.