Seorang teman saya curhat tentang kelakuan besannya, yang bisa mengakibatkan terganggunya keharmonisan rumah tangga anaknya. Â
Ceritanya, anak teman saya tersebut seorang perempuan yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit milik pemerintah. Statusnya adalah aparatur sipil negara (ASN).Â
Sedangkan suaminya atau menantu dari teman saya, seorang yang sudah punya posisi level menengah di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang konstruksi.
Sebetulnya, kehidupan si anak sudah bisa dikatakan mapan dilihat dari sisi materi. Pasangan yang masih muda itu (keduanya belum berumur 40 tahun), sudah punya rumah yang layak dan mobil.
Memang, untuk membeli rumah, mereka mengambil kredit dari sebuah bank milik negara, dengan berbekal Surat Keputusan (SK) kepegawaian sang suami serta slip gaji bulanannya.
Meskipun gaji suami dipotong untuk cicilan pengembalian kredit, mereka masih bisa memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan masih sempat pergi rekreasi sekeluarga ke destinasi wisata.
Masalahnya, oleh ibunya (yang menjadi besan teman saya), si suami diminta membantu adik perempuannya yang juga sudah bersuami.
Adik suaminya itu masih tinggal di rumah kontrakan. Karena itu, melalui ibunya, si Adik ingin kakaknya mengambil kredit perumahan lagi, tapi rumahnya untuk si Adik.
Kebetulan si adik dan suaminya dua-duanya berwirausaha, sehingga tak punya SK pegawai dan tentu juga tak punya slip gaji bulanan.
Adiknya berjanji akan mencicil setiap bulan ke kakaknya, istilahnya si adik hanya "meminjam nama" SK kakaknya, agar dapat kredit bank.
Namun, karena SK si suami sudah "disekolahkan" ke sebuah bank, kali ini si suami meminta SK istrinya yang dipakai.Â