Istrinya tidak setuju dan melapor pada orang tuanya yang teman saya itu. Tentu teman saya mendukung sikap anaknya untuk tidak meminjamkan SK-nya demi adik ipar.
Tapi, karena pola patriarki yang berlaku di rumah tangganya, akhirnya si istri pasrah, membiarkan SK-nya dipakai untuk mengambil kredit bagi adik iparnya.
Sekarang, si istri hanya bisa berdoa agar adik iparnya betul-betul mencicil secara tertib setiap bulan hingga kredit bank tersebut lunas.
Nah, terlepas dari curhat teman saya itu, bagi siapapun yang bermaksud mengambil kredit di bank, baik kredit pegawai maupun kredit untuk usaha, ketentuan bank memang harus melibatkan suami dan istri.
Hal tersebut berlaku bagi calon peminjam individu yang sudah berumah tangga. Bila kredit diajukan oleh sebuah perusahaan, apalagi yang perseroan terbatas (PT), akan melibatkan pejabat perusahaan yang punya kewenangan.
Jadi, mengacu pada prosedur di bank, dalam perjanjian kredit mewajibkan adanya tanda tangan suami dan istri, meskipun pinjaman tersebut atas nama suami.
Artinya, tak bisa salah satu pihak meminjam ke sebuah bank tanpa sepengatahuan pasangannya. Bank tak ingin nantinya ada risiko jika salah satu pihak tidak ikut menandatangani.
Meskipun demikian, adakalanya si istri tidak setuju suaminya meminjam di bank, namun terpaksa ikut tanda tangan karena "dipaksa" suaminya.
Kalau keduanya berstatus pegawai dari suatu instansi atau perusahaan, sebetulnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Soalnya, yang menjadi jaminan adalah SK kepegawaiannya.
Jadi, sumber cicilan pengembalian kredit sudah jelas, yakni bank akan memotong langsung dari penerimaan gaji si pegawai yang SK-nya "disekolahkan".
Tapi, jika si suami bukan pegawai, dan mengandalkan SK isterinya yang pegawai, ini bisa jadi masalah nantinya jika ada keretakan rumah tangga.