Tapi, pikirkan pula dampaknya, jangan gara-gara tak boleh pembelian secara kredit, omzet jadi turun. Padahal, mungkin banyak para pelanggan yang baik yang hanya tertarik membeli dengan berutang.
Toh, kalau pelanggan tersebut seorang pegawai yang sudah pasti pada tanggal gajian akan melunasi utangnya, tentu baik-baik saja.
Tak ada pakem dalam buku teks yang menyebutkan berapa jumlah piutang tak tertagih yang masih dalam batas dapat ditoleransi, dalam arti sudah masuk dalam kalkulasi bisnis.
Secara umum, piutang tak tertagih sebesar 1 persen dari total piutang, tergolong bagus. Jika mencapai 3 persen, ini sudah lampu kuning, dan 5 persen bisa dianggap lampu merah alias berbahaya bagi kelangsungan usaha.
Dalam teori akuntansi, lazim sebuah perusahaan menyusun "analisis umur piutang". Piutang yang menunggaknya baru beberapa hari, tingkat ketertagihannya masih tinggi.
Namun, untuk piutang yang sudah lama umurnya, katakanlah di atas 1 tahun, boleh dikatakan sangat tipis harapan akan dilunasi pelanggan.
Dalam hal ini, seharusnya hal tersebut digolongkan sebagai "piutang macet" yang pada tahap berikutnya akan dihapus dari pembukuan perusahaan.
Lho kok dihapus? Enak banget dong pelanggan yang dihapus utangnya. Begini, pelanggan yang dihapus tersebut tentu tidak akan tahu kalau utangnya sudah dihapus.
Soalnya, penghapusan tersebut dilakukan secara internal pada catatan perusahaan, bukan untuk diinformasikan kepada pelanggan yang dihapus utangnya.
Istilahnya pun jika mengacu pada praktik yang lazim di perbankan, disebut dengan "hapus buku", bukan "hapus tagih".Â
Artinya, secara pembukuan sudah dihapus, tapi bank masih bisa menagih. Bahkan, jika nasabah yang sudah dihapus utangnya, namun berhasil ditagih, ini disebut dengan mendapat "harta karun".