Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Berbasis Fakta dan Algoritma, Bisa Bersinergi?

25 September 2022   06:57 Diperbarui: 25 September 2022   07:02 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jurnalis/dok. mediaindonesia.com

Hingga hari ini, fenomena Bjorka masih menjadi salah satu topik hangat di media massa dan media sosial. Hal ini menyangkut sinyalemen lemahnya sistem kemanan data yang dimiliki sejumlah institusi penting.

Akibatnya, data berupa identitas pribadi para pejabat tinggi negara diduga telah bocor, meskipun pemerintah menyangkal adanya kebocoran data.

Terlepas dari betul tidaknya ada kebocoran data tersebut, kita tentu sepakat tentang betapa pentingnya merahasiakan identitas pribadi.

Caranya, masing-masing kita harus sangat berhati-hati dalam memposting sesuatu yang ada unsur data pribadinya di media sosial.

Namun, itu saja tidak cukup, karena institusi yang menyimpan jutaan data pribadi, harus mampu menjamin keamanan data agar tidak diretas.

Nah, selain soal data pribadi, sebetulnya ada hal yang lain yang sangat penting, tapi agaknya kurang disadari masyarakat. 

Hal dimaksud adalah banyaknya bersliweran berita yang belum teruji kebenarannya, dalam arti bukan berdasarkan fakta atau sesuatu yang betul-betul terjadi.

Tak heran, kalau Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra, bertekad menggalang para jurnalis untuk selalu menyajikan berita yang akurat, dan sekaligus mengatasi jurnalisme berbasis algoritma.

Sayangnya, Azyumardi Azra tidak mungkin menuntaskan tugasnya, karena baru 2 bulan menjadi Ketua Dewan Pers, intelektual yang sederhana itu, telah berpulang ke rahmatullah (Minggu, 18/9/2022).

Tapi, apakah mungkin jurnalisme berbasis fakta bisa mengungguli jurnalisme berbasis algoritma? 

Sulit memang, namun bukan mustahil. Selagi masyarakat masih melahap berbagai berita tanpa peduli tingkat akurasinya, dan malah ikut menyebarkan, algoritma akan tetap unggul.

Sebaliknya, jika tingkat literasi masyarakat secara umum semakin membaik dan sudah terbiasa menyaring informasi, maka jurnalisme berbasis fakta akan kembali berjaya seperti sebelum ada media sosial.

Nah, ujiannya tersebut akan terlihat pada saat ini, karena kita bersiap-siap memasuki tahun gejolak politik lagi, dengan mulai hangatnya berita dari tokoh-tokoh yang digadang-gadang akan bertarung di Pilpres 2024.

Contohnya, seseorang yang dari awalnya sudah tidak menyukai Anies Baswedan, akan selalu dibombardir berita negatif tentang sosok yang akan segera meletakkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta itu.

Sebaliknya, seseorang yang sangat fanatik mendukung Anies, secara otomatis di gawainya tersedia berita tentang citra positif sosok pujaannya itu.

Gampang sebetulnya mengendus berita yang diragukan keakuratannya. Jika terlalu berlebihan mencaci atau terlalu berlebihan memuji, pembaca perlu lebih kritis mencermatinya.

Berita yang berimbang, dalam arti mengungkap sisi kelebihan dan kekurangan seorang tokoh, akan lebih objektif dan bisa mengedukasi pembaca.

Untuk liputan berita, jurnalisme berbasis fakta harus menerapkan teori 5W+1H yang sudah menjadi standar jurnalisme sejak dulu.

Teori tersebut artinya sebuah berita harus lengkap menjelaskan elemen What, Who, When, Why, Where dan How dari suatu peristiwa. 

Itupun, sebelum berita diturunkan perlu dilakukan check and recheck dan berita yang berupa konsep akan diperiksa oleh redaktur media, sebelum ditayangkan.

Tapi, ketika perkembangan teknologi informasi demikian cepat seperti saat ini, menjadikan faktor kecepatan berita sebagai yang paling penting.

Sehingga, ada ujian berat bagi jurnalisme berbasis fakta, karena untuk memenuhi standar teori itu tadi, mereka bisa terlambat menyajikannya bagi pembaca.

Namun, akhirnya semua terpulang pada pembaca. Jika pembaca meninggalkan berita yang asal cepat namun tidak akurat, maka pihak media pun tidak lagi mengabaikan akurasi berita.

O ya, fenomena berita politik menjelang pemilu yang diwarnai meningkatnya hoaks tidak hanya berlaku di Indonesia, di negara maju pun sama saja.

Kompas (11/9/2022) menuliskan concern dari seorang jurnalis senior yang menekuni isu kemananan siber dan disinformasi di Washington DC, Amerika Serikat.

Rupanya, dalam Pilpres di AS pun telah terjadi evolusi disinformasi mulai Pilpres 2016, Pilpres 2020, dan juga mulai membayangi menghadapi Pilpres 2024.

Semoga masyarakat semakin kritis dalam mengonsumsi berita. Sehingga, meskipun rumus algoritma akan tetap digunakan, bisa bersinergi atau berkorelasi positif dengan jurnalisme berbasis fakta. 

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun