Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bisnis Sambal Tak Pernah Mati, Konsumen Perlu Hati-hati

15 September 2022   06:03 Diperbarui: 15 September 2022   06:26 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sambal dalam kemasan|dok. detik.com

Penggemar sambal di negara kita sangat banyak. Boleh dikatakan bahwa masyarakat Indonesia rata-rata mengonsumsi sambal setiap hari.

Jika makan nasi plus lauk pauk tapi tidak ada sambal, rasanya seperti kurang nendang. Jadi, sambal wajib ada di meja makan, baik di rumah sendiri maupun di rumah makan.

Malah, sekarang ada kebanggaan tersendiri bagi seseorang yang mampu melahap makanan super pedas dengan tingkat kepedasan level tertentu.

Tentu, hal itu berkat promosi produsen makanan yang berbumbu pedas, yang konten promosinya mencitrakan betapa dahsyatnya sensasi makanan super pedas.

Dengan pola konsumsi sambal yang tinggi tersebut, maka mata rantai bisnis yang berkaitan dengan persambalan menjadi hidup dan berkembang.

Mata rantai dimaksud dimulai dari petani cabai, yang jenisnya juga bermacam-macam, pengepul cabai yang baru dipanen, pedagang grosir, hingga pedagang eceran di pasar tradisional dan pedagang sayur keliling bergerobak.

Ada juga pedagang di pasar tradisional yang menjual cabai yang sudah digiling, yang lebih memudahkan bagi ibu rumah tangga yang tak punya waktu banyak untuk memasak.

Kemudian, industri skala rumah tangga hingga skala pabrik besar yang membuat sambal dalam kemasan juga tumbuh pesat.

Belum lagi sambal yang dikemas dalam ukuran kecil yang dipesan khusus dan bermerek makanan tertentu yang dijual memakai sistem waralaba dengan gerai yang banyak.

Jenis makanan dengan pola waralaba yang punya sambal khusus antara lain adalah ayam goreng, bakmi dan pizza.

Tak sedikit pula rumah makan yang punya juru masak khusus pembuat sambal. Rumah makan tersebut justru banyak pelanggannya karena kesengsem dengan sambalnya.

Perlu diketahui, rata-rata ibu rumah tangga bisa membuat sambal. Tapi, yang sambal buatannya sangat enak, menjadi aset berharga dan nilai jualnya tinggi kalau dibisniskan.

Untuk sambal dalam kemasan, sekarang ada lagi dalam bentuk serbuk cabai, yang tampaknya digandrungi anak muda dan para remaja.

Sedangkan mereka yang berusia setengah baya, lebih menyukai sambal tradisional yang juga mulai banyak diproduksi dalam kemasan.

Sambal tradisional tersebut contohnya sambal terasi, sambal goreng merah, sambal matah, sambal kecap, sambal dabu-dabu, dan sebagainya.

Banyak ibu rumah tangga yang pintar membuat sambal, setelah melihat peluang yang besar, membuat sambal tradisional dalam kemasan sederhana.

Sebagian di antaranya belum memakai merek dagang dan dijual baru di kota tempat si pembuat berdomisili dengan produksi yang masih terbatas.

Jadi, ketika harga cabai naik seperti yang terjadi sejak beberapa bulan lalu hingga sekarang, yang menjerit tidak saja ibu-ibu rumah tangga, tapi juga pelaku usaha rumah makan, dan produsen sambal dalam kemasan.

Meskipun demikian, ibu rumah tangga yang menjerit tersebut tetap saja membeli sambal walau sambil ngedumel.

Soalnya, hampir semua masakan membutuhkan bumbu sambal. Bahkan, sayur yang ditumis pun suka ditaburi sedikit cabai merah yang dipotong kecil-kecil.

Boleh dikatakan bahwa bisnis sambal (termasuk cabai dan semua mata rantai yang telah disinggung di awal tulisan ini) adalah bisnis yang tak ada matinya.

Hanya saja, konsumen yang membeli sambal jadi dalam kemasan, perlu berhati-hati. Disinyalir, ada sambal kemasan yang tak bermerek dan dibuat dari bahan-bahan tidak higienis.

Umpamanya, ada sambal cumi, tapi si pembuat dengan sengaja mengolahnya dari bahan cumi yang sudah busuk.

Demikian pula sambal teri, kalau bahannya dari teri yang sudah tidak layak dikonsumsi, jelas bisa membahayakan konsumennya.

Apalagi, bila sambal dalam kemasan mengandung formalin agar lebih lama awetnya, berpotensi menimbulkan penyakit yang serius bagi yang mengonsumsinya.

Gambaran di atas, terlihat dari tayangan SCTV pada acara Buser, Sabtu pagi (27/8/2022) lalu. Mungkin liputan yang bersifat investigatif tersebut dilakukan secara tersamar memakai kamera tersembunyi.

Maka, tak ada jalan lain, konsumen harus jeli dan paham bagaimana memilih sambal dalam kemasan yang baik.

Namun, konsumen tak usah khawatir, karena sebetulnya masih banyak sambal kemasan yang layak dikonsumsi, biasanya yang sudah pakai merek dan beredar luas di banyak supermarket.

Sedikit tips bagi konsumen adalah dengan memeriksa tanggal kedaluarsa, label halal (bagi yang muslim), dan membaca komposisi bahan yang tercantum pada kemasan, sebelum memutuskan untuk membeli.

Adapun ciri-ciri sambal dalam kemasan yang baik, antara lain berupa aroma yang khas dan warna sambal yang natural.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun