Mengikuti khutbah Jumat (26/8/2022) di masjid dekat rumah saya, membuat saya teringat dengan seorang teman. Sebut saja namanya Agus, yang dulu teman satu kantor saya.
Rumah Agus hanya berbeda kelurahan, tapi masih satu kecamatan dengan tempat tinggal saya. Maka, meskipun kami sudah sama-sama pensiun, masih lumayan sering bertemu.
Saya mengetahui bahwa kehidupan Agus di masa pensiun cukup terbantu dari adanya beberapa petak kos-kosan sederhana di sebuah lokasi dekat pasar kaget di Manggarai, Jakarta Selatan.
Kebetulan saya pernah diajak ke usaha kos-kosan Agus. Saya hitung-hitung, semuanya ada 8 petak hunian sederhana, yang masing-masingnya berupa satu kamar dan satu ruang keluarga serta kamar mandi.
Dari 8 petak tersebut, dulu sebelum pandemi semuanya terisi, kebanyakan oleh pedagang kecil dan pekerja level bawah yang kemampuan keuangannya terbatas.
Tapi, sejak pandemi, ada saja 1 atau 2 petak yang kosong, karena ditinggal penyewa sebelumnya. Padahal, meskipun sewanya murah, tak gampang menemukan penyewa baru.
Lalu, di bagian depan ada 4 kios kecil yang semuanya laku disewa oleh pedagang sayur, pedagang makanan, dan jenis dagangan kecil lainnya.Â
Nah, keluhan Agus yang sudah beberapa kali diungkapkannya kepada saya, masalah adanya beberapa penyewa yang boleh dikatakan selalu menunggak pembayaran kos.
Kalaupun penunggak tersebut mencicil, tetap saja tak pernah lunas. Bahkan, ada yang utangnya semakin membengkak, tanpa kepastian kapan akan dibayar.
Di lain pihak, saya tahu pasti bahwa Agus orangnya tidak tega kalau misalnya harus "mengusir" penyewa yang tunggakannya besar.
Cara yang ditempuh Agus, mungkin karena sering mendengar ceramah agama, adalah mengikhlaskan utang si penyewa (dilihat dari sisi Agus, berarti piutang).