Sampai saat saya menulis artikel ini, tulisan menyangkut kasus Brigadir J masih mendominasi Kompasiana. Meskipun sebetulnya, kasus yang menghebohkan itu sudah mendekati babak akhir.
Maksud saya, "bisulnya sudah pecah" dengan ditetapkannya Irjen FS sebagai tersangka.Â
Tapi, apa motifnya, pihak Polri rupanya tidak akan mengungkap ke publik untuk menenggang perasaan pihak-pihak yang terkait.
Artinya, publik baru akan mengetahui, bila kasus ini nantinya disidangkan. Tentu, sekiranya sidang dilakukan secara terbuka, nantinya akan terungkap juga apa yang melatarbelakangi kasus yang ibaratnya telah mencoreng wajah Polri tersebut.
Di satu sisi wajah Polri memang tercoreng. Namun, di sisi lain, Polri pantas diapresiasi karena keberaniannya untuk mengusut tuntas kasus besar itu, sebagai tindak lanjut dari perintah Presiden Joko Widodo.
Bagi mereka yang bekerja di suatu instansi atau perusahaan yang telah menetapkan tata kelola yang baik, pasti tahu, betapa sangat tidak gampangnya menjatuhkan hukuman bagi teman sendiri.
Ya, saya menganggap, sesama perwira tinggi di instansi kepolisian, tentu mereka saling kenal baik, dan bisa dikatakan teman. Irjen FS adalah perwira tinggi dan yang memeriksanya juga perwira tinggi.
Baik, sampai disitu saja saya mengambil kasus Brigadir J sebagai intro tulisan ini.Â
Berikutnya, saya mengisahkan apa yang saya alami saat masih bekerja di sebuah BUMN papan atas, saat menginvestigasi tuduhan pelanggaran etik dari seorang teman saya.
Perlu diketahui, di tempat saya bekerja, ketika itu sudah berjalan dengan baik whistleblowing system (WBS) yang memungkinkan bawahan secara diam-diam melaporkan kelakuan atasannya yang tidak sesuai dengan kode etik atau aturan yang berlaku.