Gong menuju Pemilu 2024 sudah dimulai pada hari ini, Senin (1/8/2022), yakni dengan dibukanya secara resmi pendaftaran partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Semua parpol yang akan ikut Pemilu 2024, termasuk parpol lama yang sekarang eksis, wajib mendaftar dari 1 Agustus hingga 14 Agustus 2022.
Parpol yang telah mendaftar tidak otomatis ikut pemilu, karena akan diverifikasi oleh KPU. Ada dua tahap verifikasi yang harus dilewati, yakni verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Empat bulan setelah pendaftaran, yakni pada 14 Desember 2022, barulah KPU menetapkan parpol mana saja yang berhak ikut bertarung di Pemilu 2024.
Saat ini, berdasarkan Pemilu 2019, ada 9 parpol yang punya wakil di DPR-RI, yakni PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP.
Jelas, peluang kesembilan parpol tersebut untuk menjadi peserta pesta demokrasi 2024, sangat besar. Karena secara infrastruktur hingga level wilayah dan cabang, relatif solid.
Selain itu, ada 7 parpol non parlemen, yakni Partai Berkarya, PBB, Hanura, Garuda, PSI, Perindo, dan PKP. Partai ini ikut Pemilu 2019, namun perolehan suaranya tidak mencapai parlementary threshold.
Perlu diketahui, pada 2019 ada lagi 22 parpol yang mendaftar ke KPU, namun tidak lolos sewaktu diverifikasi, sehingga dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk ikut Pemilu 2019.
Sekarang ada 6 partai baru, yakni Partai Ummat yang didirikan Amien Rais, Partai Kebangkitan Nusantara (Anas Urbaningrum), Pelita (Din Syamsuddin), Gelora (Fahri Hamzah, Anis Matta), Partai Rakyat Adil Makmur (Agus Jobo), dan Partai Rakyat (Arvindo Noviar).
Tampaknya, jumlah parpol di negara kita sangat sulit untuk dikurangi. Padahal, terlalu banyak parpol, selain menyulitkan bagi rakyat sewaktu memilih di Pemilu, juga menyulitkan parpol secara umum.
Bukankah semakin banyak partai, suara akan semakin tersebar? Artinya, untuk partai papan tengah dan papan bawah semakin sulit menembus batas parlementary threshold sebanyak 4 persen dari total suara.
Namun demikian, parpol yang sudah tersisih pada beberapa kali pemilu sebelumnya, tetap saja bernafsu untuk mendaftar lagi pada pemilu berikutnya.
Bahkan, politisi yang gagal jadi ketua umum di partai tempatnya bernaung, cenderung membentuk partai baru. Contoh bahwa konflik internal di sebuah parpol berbuntut dengan lahirnya partai baru, sudah beberapa kali terjadi.
Artinya, syahwat politik para politisi kita memang luar biasa. Apakah syahwat politik ini murni untuk memperjuangkan aspirasi rakyat atau hanya demi kepentingan kelompok tertentu saja, inilah yang jadi pertanyaan.
Kelahiran Partai Hanura, Gerindra dan Nasdem, berawal dari kekecewaan politisi yang gagal merebut tampuk kekuasaan di Golkar. Jadi, semua partai di atas bisa disebut sebagai pecahan Golkar.Â
Fenomena lain yang juga perlu dicermati adalah adanya parpol yang seperti identik dengan sosok tertentu. Tak terbayangkan, jika suatu saat sosok tersebut karena suatu hal tak bisa lagi memimpin.
Contohnya, Nasdem dengan Surya Paloh atau Gerindra dengan Prabowo Subianto. Hingga sekarang, belum terlihat sosok lain di Nasdem atau Gerindra yang berpotensi untuk jadi ketua umum.
Bakan, PDIP sebagai partai pemenang 2 kali pemilu terakhir, juga identik dengan Megawati Soekarnoputri. Seorang Joko Widodo pun, yang nota bene adalah Presiden RI, diduga tak akan menggantikan Megawati menjadi ketua umum PDIP.Â
Mungkin Puan Maharani yang kelak menjadi pengganti Megawati. Hanya saja, apakah PDIP akan tetap berjaya bila ditinggal Megawati, menjadi kekhawatiran tersendiri.
Entah bagaimana lagi caranya mengurangi jumlah parpol. Padahal, ideologi dari puluhan parpol yang ada, sebetulnya mirip-mirip saja. Bahkan, kalau disederhanakan, sebetulnya hanya ada 2 kelompok besar.
Pertama, kelompok "hijau" dengan mengedepankan citra religius, seperti PKB, PPP, PKS, PAN, PBB, Partai Ummat dan Partai Gelora.
Dan sisanya, lebih mengedepankan citra sebagai partai nasionalis yang plural. Hanya, ada yang "pekat" pluralismenya, ada pula yang agak cair.
Ada pendapat, nantinya secara alami, jumlah parpol akan menyusut sendiri. Tapi, tampaknya dalam waktu 10 tahun mendatang, belum akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H