Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

4 Modus Social Engineering yang Mengincar Pembobolan Rekening

2 Agustus 2022   05:49 Diperbarui: 2 Agustus 2022   09:20 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembayaran non tunai| Dok Shutterstock via Kompas.com

Social engineering yang sekarang biasa disingkat dengan "soceng" adalah rekayasa sosial melalui aktivitas manipulasi psikologi. Tujuannya adalah mengelabui pengguna aplikasi media sosial tertentu.

Jika pengguna aplikasi mengikuti apa yang dimaui pihak pembuat soceng, maka data yang bersifat rahasia dari pengguna aplikasi bisa berpindah tangan ke pihak yang tidak berhak mengetahuinya.

Selanjutnya, gampang diduga, akan timbul kerugian bagi pengguna aplikasi yang telah dikelabui dan menjadi keuntungan bagi pembuat soceng.

Dari materi edukasi konsumen yang dibuat Otoritas Jasa Keungan (OJK), dijelaskan tentang 4 modus soceng yang sekarang lagi marak.

Pertama, berupa informasi perubahan tarif transfer yang seolah-olah merupakan kebijakan baru dari sebuah bank. 

Untuk meyakinkan, biasanya disertai foto surat yang kopnya ada logo resmi bank serta ditandatangani oleh direktur bank tersebut. Tentu, surat tersebut palsu.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa tarif transfer yang tadinya dikenakan setiap kali mentransfer, diubah menjadi tarif tetap, katakanlah Rp 150.000 per bulan tanpa melihat berapa kali melakukan transfer.

Jelas, bagi nasabah yang dalam sebulan rata-rata mentransfer hanya 2-3 kali, sangat dirugikan. Bagi nasabah yang keberatan, diminta mengklik tautan yang disertakan pada info tersebut.

Nah, di sinilah data rahasia nasabah diminta untuk dientri, yang akhirnya akan menjadi sasaran empuk pelaku soceng untuk dibobol rekeningnya.

Kedua, berupa informasi pada nasabah dari suatu bank yang tertarik menjadi nasabah prioritas. Biasanya, nasabah prioritas ini mendapat fasilitas yang khusus diberikan pada mereka yang rekeningnya punya saldo besar, misalnya di atas Rp 500 juta.

Dengan menjadi nasabah prioritas, kalau mereka ke bank akan dilayani di ruang khusus, tidak perlu antre seperti nasabah lain. 

Juga ada fasilitas gratis menikmati makanan dan minuman di executive lounge yang ada di bandara, khususnya yang telah ada kerjasama dengan bank penerbit kartu prioritas.

Dengan berbagai fasilitas lainnya, tentu banyak nasabah yang tergiur meningkatkan status dari nasabah biasa menjadi nasabah prioritas.

Bila informasi tersebut diklik, maka seperti pada modus pertama di atas, calon nasabah prioritas itu diminta mengentri identitas dan data pribadi yang sebetulnya bersifat rahasia.

Ketiga, berupa informasi akun layanan konsumen palsu dari sebuah bank. Ini sebetulnya modus yang sudah lama berlangsung, termasuk dulu berupa pengumuman yang ditempel di ATM bank.

Nasabah yang kebetulan ada masalah dan ingin mengadu ke layanan resmi bank, jika tidak hati-hati malah mengklik atau menghubungi akun layanan palsu yang dibuat pembuat soceng.

Buntutnya, sama dengan dua modus sebelumnya, si pengadu diminta memberikan data yang bersifat rahasia dan kemudian rekeningnya dibobol oleh komplotan penjahat soceng.

Ilustrasi Soceng|dok. Pixabay/mohamed_hassan, dimuat urbanasia.com
Ilustrasi Soceng|dok. Pixabay/mohamed_hassan, dimuat urbanasia.com

Keempat, adanya tawaran menjadi agen "laku pandai" yang diinformasikan melalui media sosial. "Laku Pandai" adalah program OJK dalam menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain sebagai agen bank.

Dengan didukung sarana teknologi informasi, seorang agen bank bisa melayani berbagai transaksi, meskipun si agen tidak punya kantor, hanya beroperasi dari kios kecil.

Tujuan "Laku Pandai" adalah demi terciptanya financial inclusion (layanan keuangan inklusif yang mampu menjangkau masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh bank).

Nah, menjadi agen laku pandai tentu ada keuntungannya, terutama bila si agen tinggal di kawasan padat penduduk, sehingga cukup banyak masyarakat yang dilayaninya.

Agen tersebut akan mendapat fee tergantung dari banyaknya transaksi yang dilayaninya. Fee yang dikenakan pada nasabah akan dibagi, sebagian menjadi hak bank yang bekerjasama, sebagian lagi menjadi hak si agen.

Masalahnya, tawaran menjadi agen laku pandai harus dipastikan betul-betul berasal dari sebuah bank, bukan berupa informasi palsu via media sosial.

Bila tawaran palsu itu diklik, lagi-lagi seperti modus-modus sebelumnya, si calon agen dimita mengentri data yang bersifat rahasia, dan selanjutnya rekening banknya berpotensi untuk dijebol. 

Bisa juga pelaku meminta uang dengan alasan untuk membeli EDC, yakni alat yang dipakai untuk bertransaksi seperti yang terdapat di kasir pasar swalayan. Padahal, bank tidak membebani agen untuk membeli EDC.

Kesimpulannya, kita perlu senantiasa berhati-hati, jangan sampai tertipu soceng yang memberikan informasi yang seolah-olah resmi dari sebuah bank.

Petugas bank tidak akan pernah meminta atau menanyakan password, PIN, MPIN,OTP, atau data pribadi Anda. Jika ada informasi tentang nomor telepon, akun media sosial, email dan website suatu bank, harus dicek keasliannya terlebih dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun