Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berlangsung dari 1 Januari hingga 30 Juni 2022, meskipun tidak begitu banyak mendapat pemberitaan di media massa, bisa dikatakan cukup berhasil.
PPS yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak, dulu pada tahun 2016 disebut dengan Tax Amnesty atau pengampunan pajak. Â Jadi, PPS tersebut oleh sebagian pengamat dinilai sebagai Tax Amnesty Jilid II.
Siapa yang disasar oleh PPS? Tentu mereka yang belum mematuhi ketentuan perpajakan, terutama yang berkaitan dengan jenis Pajak Penghasilan (PPh).
Mereka yang rutin melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak (SPT), yang selambat-lambatnya setiap akhir Maret disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat, sudah mengetahui bahwa dalam SPT ada daftar harta yang dilaporkan.
Nah, jika selama ini masih ada harta yang belum dilaporkan, itulah yang diharapkan melaporkannya pada PPS yang diikutinya, dengan membayar tarif PPh yang relatif rendah.
Kalau tidak dilaporkan pada PPS dan di kemudian hari pihak pajak mendapatkan data kekayaan seseorang yang tidak dilaporkan, dendanya akan jauh lebih besar.
Perlu diingat, sekarang Dirjen Pajak punya akses ke berbagai lembaga keuangan, bukan hanya di tingkat nasional, tapi juga ada kerjasama dengan lembaga keuangan di luar negeri.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin bila ada wajib pajak yang membuka rekening bank di negara lain (bukan di bank asing yang membuka kantor cabang di Indonesia), akan terlacak oleh pihak pajak.
Memang, banyaknya WNI yang sengaja menyembunyikan hartanya dengan menyimpan di negara tertentu yang dinilai aman, sudah diduga terjadi sejak dulu.
Negara-negara dimaksud disebut dengan tax haven country atau negara yang menjadi tempat berlindung bagi wajib pajak agar dapat mengurangi, bahkan menghindari, kewajiban perpajakannya.
Contoh negara dimaksud adalah Singapura, Swiss, Hongkong, Luxembourg, Cayman Islands, British Virgin Islands, Bermuda, dan sebagainya.