Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Inklusif, Kuantitas, dan Kualitas Sama Pentingnya

27 Juli 2022   16:38 Diperbarui: 27 Juli 2022   16:41 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekonomi inklusif|dok. solider.id

Tahun ini merupakan tahun yang super sibuk bagi Presiden Joko Widodo dan jajarannya. Tidak hanya kondisi di tanah air saja yang mesti ditangani dengan sebaik-baiknya.

Tapi, kondisi global pun perlu dicarikan solusinya bersama dengan berbagai negara lain. Makanya, kemampuan diplomasi pemerintah menjadi amat penting.

Untungnya, tahun ini (1 Desember 2021-30 November 2022), Indonesia mendapat amanah sebagai pemegang Presidensi G20. Sehingga, berbagai pertemuan di Forum G20 bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menghasilkan solusi yang tepat.

G20 merupakan forum kerjasama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan 1 organisasi antar pemerintah 27 negara Eropa yang disebut dengan Uni Eropa.

Mengutip bi.go.id, G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Anggota G20 selengkapnya terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.

Adapun tujuan utama Forum G20 adalah mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif.

Sebagai bukti nyata keberhasilan G20, bisa ditelusuri ke berbagai referensi yang antara lain terlihat pada penanganan krisis keuangan global 2008.

Dalam hal ini, G20 dianggap telah membantu dunia kembali ke jalur pertumbuhan, serta mendorong beberapa reformasi penting di bidang finansial.

Nah, melihat tujuan utama G20 di atas, bisa ditafsirkan bahwa ekonomi inklusif merupakan hal yang perlu terus diperjuangkan. 

Soal ekonomi inklusif ini, sangat terasa pentingnya di negara kita, mengingat masalah pemerataan ekonomi, hingga sekarang masih belum seperti yang diharapkan.

Maksudnya, tidak hanya soal kesenjangan antar daerah Jawa dan luar Jawa, atau antar lapisan masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah, tapi juga ada kelompok perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas yang perlu diberi perhatian khusus.

Jadi, pembangunan ekonomi di Indonesia perlu dirancang yang menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antar kelompok dan wilayah.

Pembangunan ekonomi inklusif tersebut mempunyai tiga pilar utama, yakni pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta perluasan akses dan kesempatan.

Dari ketiga pilar di atas diturunkan lagi dalam tiga sub pilar, yakni kapabilitas manusia, infrastruktur dasar, dan keuangan inklusif.

Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia sudah punya sejumlah program agar mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat inklusif.

Tentu, dilihat dari sisi ekonomi inklusif, BI lebih terfokus pada upaya mewujudkan inklusi keuangan (financial inclusion). Dalam konteks G20, ada forum Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI).

Pada pertemuan GPFI Planery Meeting di Nusa Dua, Bali, 12-13 Mei 2022 lalu, telah dibahas komitmen GPFI untuk terus memanfaatkan peluang di era digital agar inklusi keuangan menjadi lebih baik.

Selain itu, dibahas penguatan pedoman pembiayaan Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM). Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yakni kaitan pembiayaan UMKM dengan fintech, resiliensi UMKM, transisi hijau, dan ketersediaan data granular.

Kemudian, juga dibahas pentingnya peningkatan peran perempuan dan pemuda, serta mendorong upaya pemanfaatan digitalisai untuk mencapai inklusi keluangan.

Jika inklusi keuangan lebih mementingkan data kuantitatif, misalnya dengan melihat parameter jumlah rekening bank, maka untuk menambah jumlah nasabah sebuah lembaga keuangan, relatif tidak sulit.

Paling tidak, setiap orang di atas usia tertentu mempunyai minimal satu rekening tabungan di bank, sudah lazim di zaman serba online sekarang.

Bahkan, anak-anak level SMA pun, terutama yang tinggal di perkotaan, juga sudah banyak yang mempunyai rekening tabungan di bank.

Bukankah sekarang para karyawan, terlepas dari di mana pun mereka bekerja, hampir bisa dipastikan punya rekening bank? Soalnya, pembayaran gaji atau upah mereka dilakukan melalui bank.

Yang bukan karyawan pun, anggaplah pedagang kecil, sekarang juga rata-rata punya rekening bank, apalagi bila pedagang tersebut sudah ikut memanfaatkan media sosial dan bertransaksi secara online.

Tak heran, BI mencatat jumlah rekening Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan pada Maret 2022 sebanyak 2.295 per 1.000 penduduk berusia dewasa (katadata.co.id, 20/6/2022).

Terlepas dari termasuknya rekening milik perusahaan, instansi pemerintah, atau organisasi, pada data di atas, fenomena seseorang punya 2 atau 3 rekening bank, bukan lagi hal langka.

Kalaupun ada yang belum punya rekening bank, mungkin para petani kecil di desa terpencil, para asisten rumah tangga, dan para pekerja informal seperti pemulung, pengamen, dan sebagainya.

Namun, bila mereka yang tergolong kelompok marjinal itu terdaftar sebagai penerima bantuan sosial dari pemerintah, kemungkinan juga punya rekening tabungan untuk menampung bantuan sosial tersebut.

Tersebarnya agen bank di berbagai pelosok yang biasanya adalah pemilik sebuah kios yang sudah bekerjasama dengan sebuah bank, juga dititipi alat untuk bertransaksi, sangat membantu tercapainya inklusi keuangan.

Tinggal lagi, bagaimana fokus inklusi keuangan meningkat pada faktor kualitas, bukan kuantitas semata. Rekening di bank yang tidak aktif, atau sekadar numpang lewat untuk menerima gaji lalu dikuras habis, bukan mencerminkan hal yang berkualitas.

Atau, kalau melihat bidang lain, katakanlah dalam penyediaan lapangan pekerjaan, sekarang beberapa kantor sudah memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk diterima sebagai karyawan tetap atau berstatus outsourcing.

Namun, ada kesan bahwa menerima penyandang disablitas untuk bekerja sekadar memenuhi regulasi, dalam arti mementingkan kuantitas. 

Sudah saatnya ekonomi inklusif, terutama bagi perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas, tidak semata diihat dari kuantitas, tapi juga kualitas.

Dalam hal ini, edukasi atau sosialisasi yang berkaitan dengan topik literasi keuangan, menjadi kunci utama terciptanya inklusi keuangan yang berkualitas.

Dengan literasi keuangan yang baik, akan mempersempit ruang gerak bagi upaya penipuan bermodus link palsu melalui media sosial.

Tentu, sekadar tahu literasi keuangan saja tidak cukup. Pada akhirnya kapabilitas ekonomi kelompok marjinal mendesak untuk perlu ditingkatkan.

Kembali ke topik G20, "Recover Together, Recover Stronger" menjadi Tema Presidensi G20 Indonesia 2022. Indonesia ingin mengajak seluruh dunia bahu membahu, saling mendukung untuk pulih bersama, serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.

Tapi, jangan sampai yang bisa pulih dan menjadi lebih kuat, hanya kelompok tertentu secara eksklusif. Harapan kita, sesuai dengan tujuan ekonomi inklusif, tak ada lagi kelompok yang tertinggal.

.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun