Tips merantau untuk menuntut ilmu tentu berbeda dengan merantau untuk mencari nafkah. Mungkin anggapan umum, mencari nafkah lebih berat ketimbang menuntut ilmu.
Tapi, anggapan tersebut tidak sepenuhnya betul. Yang jelas, masing-masing kelompok, mencari nafkah atau menuntut ilmu, punya tingkat kesulitan tersendiri.
Tulisan ini lebih terfokus pada mereka yang hingga menamatkan sekolah menengah masih tinggal sama orang tua, dan saat memulai kuliah terpaksa berpisah karena kampusnya relatif jauh dari domisili orang tua.
Memang, ada juga mereka yang lebih muda saat berpisah dengan orang tua, seperti lulusan SD yang memilih mondok di sebuah pondok pesantren.
Atau, mereka yang menjadi siswa dengan pola boarding school, yang juga punya pengalaman berpisah dengan orang tua. Tapi, itu diluar skop tulisan ini.
Sebagai perantau, jika tidak ada  famili yang berdomisili di kota itu, pilihan yang tersedia adalah tinggal di tempat kos. Bisa juga di asrama, tapi tak banyak perguruan tinggi yang menyediakan asrama mahasiswa.
Nah, berbicara tentang kos mahasiswa, sangat nyata bedanya apa yang saya alami di dekade 1980-an dengan apa yang dialami generasi sekarang.
Saya punya pengalaman langsung, karena 3 anak saya semuanya kos sewaktu memulai kuliah. Mereka bertiga, hingga tamat SMA masih tinggal dengan orangtua.
Dulu, pada tahun 1980-an saya juga menjadi anak kos. Ketika itu, rata-rata mahasiswa yang ngekos tidak ada yang satu kamar sendiri.
Seperti saya, dengan kamar seukuran sekitar 4 kali 3 meter diisi oleh 3 orang. Di rumah tersebut ada 5 kamar. Artinya, dihuni 15 orang, yang bergantian menggunakan kamar mandi dan toilet yang terpisah dari semua kamar.
Kenapa harus sharing kamar? Agar sewa kamar bisa dibagi, sehingga masih terjangkau. Soalnya, uang bulanan dari orangtua sangat terbatas dan harus dicukup-cukupkan untuk semua keperluan.