Idealnya NPL suatu bank berada di bawah 2 persen dihutung dari total outstanding kredit. Tapi, NPL hingga maksimal 5 persen sepanjang alasannya wajar, masih tergolong baik.
Jelas bukan, kenapa AO sangat menggebu-gebu menagih tunggakan pengembalian kredit? Soalnya, AO juga ditekan sama atasannya.
Kinerja sekumpulan AO di sebuah kantor cabang, menjadi ukuran keberhasilan kepala cabang. Selanjutnya, kinerja cabang-cabang dalam satu wilayah, menjadi ukuran kinerja kepala wilayah.
Terakhir, gabungan kinerja semua wilayah, menjadi salah satu ukuran keberhasilan atau kegagalan sebuah bank secara nasional. Artinya, jadi keberhasilan dewan direksi dan dewan komisaris bank.
Sekiranya bank tersebut milik negara, apakah Menteri BUMN perlu mengganti direksi atau komisaris, antara lain karena kinerja perkreditan secara nasional.
Semua kinerja perkreditan tersebut, menjadi bagian dari laporan keuangan bank yang disusun setiap akhir bulan. Namun, yang paling disorot adalah laporan keuangan setiap triwulan dan laporan keuangan posisi akhir tahun.
Hal tersebut karena bank diwajibkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempublikasikan laporan keuangan triwulanannya. Tentu, direksi sangat berkepentingan bagaimana agar laporan keuangannya tampil sebagus mungkin.
Adapun laporan keuangan akhir tahun, akan lebih sulit untuk "dipoles" karena wajib diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang diakui OJK.
Dalam menyusun laporan keuangan, bank melakukan secara berjenjang, mulai dari laporan keuangan kantor cabang yang nantinya digabung dengan cabang-cabang lainnya menjadi laporan keuangan kantor wilayah.
Selanjutnya, gabungan laporan keuangan semua wilayah, termasuk cabang luar negeri (beberapa bank di Indonesia punya cabang di luar negeri) menjadi laporan keuangan bank tersebut.
Kembali ke pencapaian target bidang perkreditan, target secara nasional akan di-breakdown ke setiap wilayah, berikutnya dipecah lagi ke setiap cabang, dan pada akhirnya ke setiap AO secara individu.