Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumah Orangtua Rumah Anak, Rumah Anak Bukan Rumah Orangtua

26 Juni 2022   05:22 Diperbarui: 26 Juni 2022   05:35 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi nenek dan cucu|dok. shutterstock, dimuat diadona.id

Tulis saja namanya Ina. Perempuan berusia sekitar 60 tahun ini terlihat masih energik. Naik turun kereta api yang berdesakan penumpang, dilakoninya dengan baik kalau Ina lagi berada di rumah anaknya di Depok, Jawa Barat.

Untuk menghilangkan kesumpekan, Ina mengisi waktu dengan pergi ke Pasar Tanah Abang atau Mangga Dua, karena ia suka melihat-lihat pakaian muslimah yang lagi laris di pasaran.

Naik kereta dari Depok ke Tanah Abang, karena harus transit dan pindah kereta di Stasiun Manggarai, bagi anak muda sekalipun cukup melelahkan, tapi Ina enjoy aja. 

Saoalnya, di Stasiun Manggarai penumpang harus naik ke lantai atas lewat tangga yang cukup menguras tenaga, sambil berdesakan dengan penumpang lain.

Kenapa Ina sampai di Depok, padahal ia punya rumah sendiri di Padang? Nah, ceritanya waktu anaknya sekeluarga yang berdomisili di Depok, pada libur lebaran yang lalu, berkesempatan pulang kampung ke Padang.

Pas si anak kembali ke Depok sekitar seminggu setelah Idul Fitri, Ina diajak ikut. Sebetulnya Ina tidak begitu tertarik pergi ke Depok, hanya kali ini ia kasihan sama anaknya karena asisten rumah tangganya tidak akan kembali lagi.

Padahal, anaknya punya 2 orang anak yang masih balita. Lagipula, kedua cucunya itu cukup lengket dengan Ina. 

Hanya 2 itu cucu Ina saat ini, karena anak sulungnya yang sudah lebih lama menikah ketimbang anak yang di Depok, tidak dikarunia anak.

Anak sulung tersebut meskipun juga tinggal di kota Padang, tapi tinggal terpisah karena sudah punya rumah sendiri. 

Sedangkan anak bungsu Ina bekerja di Batam dan masih lajang. Sehari-hari Ina tinggal sendiri di rumahnya dan ia bisa mengurus kebutuhannya sendiri.

Sekiranya Ina perlu bantuan seseorang, selain ia bisa menghubungi anak sulungnya, ia juga akrab dengan beberapa tetangga.

Kembali ke soal kepergian Ina ke Depok, ia baru mau berangkat, dengan catatan hanya selama 2 minggu saja paling lama. 

Artinya, selama dua minggu itu anaknya harus bisa mencari asisten rumah tangga. Soalnya, anak Ina dan suaminya sama-sama bekerja, dan tempat penitipan anak balita tidak ada di sekitar rumahnya.

Kenapa Ina tidak betah lama-lama tinggal di rumah anaknya, padahal statusnya "bebas" sebagai seorang janda, sejak suaminya meninggal 3 tahun lalu?

Justru sebagai orang bebas, Ina merasa tidak bebas di rumah anaknya. Menurut Ina, "rumah orangtua adalah rumah anak juga, tapi rumah anak bukan rumah orang tua."

Ina memang sangat sayang kepada kedua cucunya. Tapi karena sayang cucu itulah Ina jadi sakit kepala melihat cara anak dan menantunya mendidik anak.

Contohnya, anak tidak diajar disiplin dalam makan pagi, siang dan malam. Sering cucunya makan berlama-lama, itupun tidak habis sepiring kecil.

Ketidakbebasan juga dirasakan Ina dalam menu makanan. Meskipun Ina senang memasak, tapi apa yang mau masak harus ia tanyakan dulu ke anaknya.

Mau makan pun, biasanya menunggu waktu menantu makan dulu. Kecuali bila menantunya tidak di rumah, seperti saat makan siang di hari kerja.

Ina juga sangat tidak tahan melihat rumah berantakan. Di rumahnya di Padang, hampir setiap hari ia merawat bunga di halaman rumahnya serta merapikan semua barang-barang di dalam rumah.

Tapi, anaknya dan menantunya di Depok, membiarkan beberapa barang tergelatak tak beraturan di sebuah ruangan yang difungsikan sebagai gudang.

Kalau Ina mau membereskan barang-barang itu, dilarang oleh anaknya, karena nanti suaminya bingung kalau membutuhkan.

Berbeda bila Ina lagi di rumah sendiri di Padang, tentu ia merasa bebas mau memasak apa dan mau makan jam berapa.

Jadi, ketika anak-anak sudah punya keluarga sendiri, dianggap punya "kedaulatan" di rumahnya, itulah yang membuat orang tua seperti Ina merasa kurang bebas.

Padahal, sebagai orang tua, Ina gregetan ingin mengatur semuanya. Tapi, ia segera sadar, karena ia lagi di rumah anaknya, bukan di rumahnya sendiri.

Sadarlah Ina, bahwa seperti telah disinggung di atas, rumah anak bukan rumah orang tua, meskipun rumah orang tua adalah rumah anak juga. Bukankah nanti anak-anak yang jadi pewaris harta orang tua?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun