Sebetulnya, paradigma bahwa sumber daya manusia (SDM) dipandang sebagai aset dari perusahaan yang mempekerjakannya, sudah cukup lama didengungkan.
Mari kita lihat terlebih dahulu apa itu aset dan apa itu beban dalam terminologi akuntansi. Jika perusahaan membeli mesin untuk menghasilkan produk yang akan dijual, jelas bahwa perusahaan harus mengeluarkan uang terlebih dahulu.
Nah, terhadap pengeluaran tersebut, ada dua konsep, yakni apakah pengeluaran dalam rangka mendapatkan aset atau pengeluaran yang semata-mata menjadi beban perusahaan.
Karena mesin merupakan alat yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang dan berpotensi untuk mendatangkan penghasilan dari produk yang dihasilkan mesin tersebut, maka mesin tersebut termasuk aset perusahaan.
Tapi, pengeluaran perusahaan untuk biaya listrik saat mengoperasikan mesin, merupakan beban karena langsung habis dipakai di saat tersebut. Demikian juga biaya bahan bakar untuk menjalankan mesin itu.
Sekarang kita kembali ke SDM. Meskipun awalnya perusahaan mengeluarkan biaya untuk merekrut dan melatih, namun nantinya SDM tersebut diharapkan akan bekerja dengan baik sehingga mendatangkan penghasilan bagi perusahaan.
Di sinilah praktik akuntansi masih mengandung dualisme. Standar akuntansi konvensional hingga saat ini masih mencatat semua pengeluaran untuk SDM pada kelompok beban atau biaya.
Namun, dalam analisis internal manajemen, pengeluaran untuk SDM bisa dipecah dua. Gaji dan bonus bisa dinilai sebagai beban perusahaan, tapi biaya pendidikan dan pelatihan sebetulnya investasi bagi perusahaan.
Sedangkan investasi itu sendiri merupakan bagian dari aset. Bukankah dengan pendidikan dan pelatihan tersebut, diharapkan akan menambah skill SDM dan pada gilirannya berdampak positif bagi perusahaan?
Bahkan, perusahaan yang mapan, baik BUMN maupun milik swasta, tak segan-segan membiayai karyawannya yang potensial untuk dikirim mengikuti kuliah S-2 atau S-3 di luar negeri.