Bagi yang hobi mancing, tentu akan merasakan sensasi tersendiri setiap kali berkesempatan melakukan hobinya. Memancing tersebut bisa dilakukan di sungai, di danau, atau di kolam pemancingan. Masing-masing lokasi punya kenikmatan yang berbeda.
Tapi, ada juga yang memancing ke lokasi yang menantang, seperti ke tengah laut lepas. Bagi para nelayan, memancing di laut lepas bukan lagi hal yang sulit, karena memang sudah pekerjaannya.
Namun, bagi orang kantoran yang memanfaatkan waktu libur di akhir pekan, memancing di tengah laut bukan perkara gampang. Apalagi bila ombak besar, butuh nyali yang  juga besar.
Tulisan ini tidak akan membahas seluk beluk atau tips memancing di tengah laut. Tentang tips ini rasanya sudah cukup banyak tulisan yang bisa dijadikan referensi, termasuk di Kompasiana.
Saat seseorang berada di manapun, sekarang ini sebaiknya selalu terhubung dengan pihak lain seperti keluarga dan sahabat-sahabatnya melalui alat komunikasi.
Artinya, bagi seorang yang hobi mancing di tengah laut lepas, perlu diingatkan apakah di lokasi pemancingan, dari hape yang dibawanya masih bisa tersambung dengan dunia luar?
Mungkin ini kelihatannya soal kecil. Bahkan, bisa jadi ada pemancing yang sengaja tidak ingin diganggu dengan mencari lokasi yang tak terjangkau oleh sinyal jaringan komunikasi.
Tapi, terkadang kita tak pernah tahu, ada berita penting yang harus kita terima, namun tidak tersampaikan gara-gara lagi berada di lokasi yang tak bisa dihubungi.Â
Ada sebuah kisah nyata yang terjadi sekitar 2012 atau 2013. Ketika itu alat jaringan komunikasi belum secanggih sekarang. Jangan berharap ada sinyal pada hape saat berada di tengah laut lepas.
Nah, tersebutlah seseorang yang benama Ali, yang menjadi pejabat di sebuah BUMN. Ali menjadi kepala wilayah di sebuah provinsi di Sumatera.
Hobi kepala wilayah biasanya harus diikuti oleh para kepala cabang yang dibawahinya. Ya, begitulah cara para kepala cabang untuk mengambil hati bosnya.
Jika sekadar hobi main golf, ini tidak menyusahkan kepala cabang, karena rata-rata pejabat di BUMN tersebut memang dituntut untuk mampu bermain golf.
Tapi, persoalan menjadi lain, bila bos punya hobi yang tergolong langka, dalam arti tidak banyak peminatnya.Â
Memancing, bisa dikatakan langka, paling tidak itulah yang terlihat di kalangan pejabat di lingkungan BUMN tersebut ketika itu.
Karena punya bos yang hobi mancing, mau tak mau para kepala cabang yang dibawahinya terpaksa belajar memancing dan pura-pura bisa menikmati ketika menemani si bos memancing.
Begitulah, pada suatu malam di akhir pekan, dengan menyewa kapal yang relatif bagus, si bos dengan belasan orang kepala cabang memancing di tengah laut lepas, cukup jauh dari pelabuhan tempat kapal itu mangkal.
"Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak," kata  sebuah pepatah. Ibunda tercinta si bos yang berada di sebuah kota di Jawa Barat berpulang ke rahmatullah sekitar jam 2 dinihari, saat si bos masih asyik memancing.
Masalahnya, karena si bos tak bisa dihubungi, tentu saja ia tak mendapatkan informasi kabar duka tersebut.Â
Jika saja ia tahu pada dini hari itu, si bos masih bisa terbang dengan pesawat paling pagi ke Jakarta, dan selanjutnya naik mobil ke rumah duka.
Jarak dari Bandara Soekarno-Hatta ke rumah duka kira-kira sekitar 3-4 jam perjalanan darat. Sekiranya dari kota tempat si bos bertugas ada pesawat langsung ke Bandung, akan lebih cepat sampai di rumah duka.
Apa mau dikata, si bos baru mengetahui bahwa ibunda tercinta sudah meninggal dunia sekitar jam 9 Â pagi setalah selesai memancing.
Akibatnya, menjadi penyesalan bagi si bos karena ia baru sampai di rumah duka mendekati magrib, ketika jenazah ibunya sudah selesai dimakamkan.Â
Pesan yang ingin disampaikan melalui tulisan ini, jika kita melakukan suatu hal di tempat yang relatif jauh dan memakan waktu semalaman atau seharian, ada baiknya dilakukan di tempat yang masih terjangkau saluran komunikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H