Jika sekadar hobi main golf, ini tidak menyusahkan kepala cabang, karena rata-rata pejabat di BUMN tersebut memang dituntut untuk mampu bermain golf.
Tapi, persoalan menjadi lain, bila bos punya hobi yang tergolong langka, dalam arti tidak banyak peminatnya.Â
Memancing, bisa dikatakan langka, paling tidak itulah yang terlihat di kalangan pejabat di lingkungan BUMN tersebut ketika itu.
Karena punya bos yang hobi mancing, mau tak mau para kepala cabang yang dibawahinya terpaksa belajar memancing dan pura-pura bisa menikmati ketika menemani si bos memancing.
Begitulah, pada suatu malam di akhir pekan, dengan menyewa kapal yang relatif bagus, si bos dengan belasan orang kepala cabang memancing di tengah laut lepas, cukup jauh dari pelabuhan tempat kapal itu mangkal.
"Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak," kata  sebuah pepatah. Ibunda tercinta si bos yang berada di sebuah kota di Jawa Barat berpulang ke rahmatullah sekitar jam 2 dinihari, saat si bos masih asyik memancing.
Masalahnya, karena si bos tak bisa dihubungi, tentu saja ia tak mendapatkan informasi kabar duka tersebut.Â
Jika saja ia tahu pada dini hari itu, si bos masih bisa terbang dengan pesawat paling pagi ke Jakarta, dan selanjutnya naik mobil ke rumah duka.
Jarak dari Bandara Soekarno-Hatta ke rumah duka kira-kira sekitar 3-4 jam perjalanan darat. Sekiranya dari kota tempat si bos bertugas ada pesawat langsung ke Bandung, akan lebih cepat sampai di rumah duka.
Apa mau dikata, si bos baru mengetahui bahwa ibunda tercinta sudah meninggal dunia sekitar jam 9 Â pagi setalah selesai memancing.
Akibatnya, menjadi penyesalan bagi si bos karena ia baru sampai di rumah duka mendekati magrib, ketika jenazah ibunya sudah selesai dimakamkan.Â