Setelah melewati gedung cagar budaya, baru terlihat gedung tinggi yang dari depan tampak tulisan besar "Perpustakaan Nasional Republik Indonesia" yang ditulis dalam berbagai bahasa.
Di lantai 1 terdapat ruang tunggu, ruang santai dan kafe. Jika pengunjung tertarik untuk menjadi anggota, silakan naik ke lantai 2 untuk mengisi data pribadi yang diminta oleh sistem, dan dapat nomor antrian berfoto untuk keperluan kartu anggota.
Dengan menjadi anggota, seseorang bisa meminjam buku dan juga bisa menikmati semua fasilitas di Perpustakaan Nasional. Sedangkan yang bukan anggota tetap boleh membaca buku di beberapa ruang baca yang tersedia.
Bagi perpustakaan yang sudah bagus fasilitasnya, sayang sekali jika tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Hal itu juga yang terlihat di Perpustakaan Nasional.
Dengan gedung sebesar itu, pengunjung jadi terkesan sepi. Barangkali soal sepinya perpustakaan menjadi masalah di mana-mana di negara kita, karena tingkat literasi kita yang relatif rendah.
Padahal, prosedur untuk menjadi anggota (seperti yang berlaku di Perpustakaan Nasional) atau untuk sekadar membaca di tempat, tidaklah rumit seperti telah ditulis di atas.
Masalahnya, harus diakui "nafsu" membaca rata-rata warga Indonesia masih tergolong rendah. Apalagi, sejak semua orang punya telpon pintar, sekadar membaca koran atau majalah pun sudah kalah dengan bermain media sosial.
Bahkan, para mahasiswa dan akademisi yang betah berlama-lama di perpustakaan tidak banyak, kecuali karena berkaitan dengan penulisan makalah atau tugas penelitian, bukan karena kehendak sendiri.
Di lain pihak, pengelola perpustakaan harus lebih kreatif untuk menarik minat pengunjung. Soalnya, dengan kemajuan teknologi, telah memberikan pilihan lain bagi pembaca dengan semakin banyaknya buku eleltronik.
Tapi, bagi yang sudah terbiasa membaca buku cetak, pasti merasakan bahwa ada kenikmatan tersendiri saat membaca buku cetak yang tidak tergantikan oleh buku elektronik.