Nah, si anak ini tahu bahwa ibunya meninggal karena penyakit hatinya sudah pada tahap sirosis. Di kemudian hari, 4 orang dari 8 anak si ibu juga menderita hepatitis B.
Tapi, dari 4 anak tersebut, ada salah seorang yang diketahui penyakitnya ketika masih tahap dini, sehingga setalah 2 minggu dirawat di rumah sakit dan berlanjut dengan rawat jalan selama beberapa bulan, ia pun sembuh.
Meskipun sudah sembuh, si anak tersebut tetap sekali 6 bulan melakukan pemeriksaan darah di sebuah laboratorium klinik untuk mengecek fungsi hati seperti SGOT dan SGPT.
Sedangkan yang 3 orang lagi, ketahuan sakitnya setelah cukup berat, dalam arti sudah ada sirosisnya. Secara medis sudah diusahakan secara maksimal, namun Tuhan berkehendak lain, ketiganya sudah berpulang ke rahmatullah.
Dari 3 orang tersebut, ada yang meninggal setelah 6 bulan menderita sakit, ada yang 1 tahun, dan satu lagi yang relatif lama, yakni sekitar 3 tahun.
Anak-anak di luar yang empat di atas memang tidak sakit. Tapi, tetap punya virus hepatitis B yang di lab ditulis dengan "Hbs Ag". Termasuk anak yang dokter itu tadi juga punya Hbs Ag yang positif (artinya punya virus).
Perlu diketahui, tidak semua yang punya virus berarti sakit, karena ada yang disebut pengidap sehat. Maksudnya punya virus, tapi bisa dikatakan pasif atau tidak bergejolak.
Saya sendiri pernah dijelaskan seorang dokter dengan sub spesialis khusus hepatitis, bahwa sekitar 30 juta orang Indonesia diperkirakan punya Hbs Ag yang positif.Â
Hanya saja, karena tidak merasa sakit, banyak orang yang baru ketahuan punya virus saat melakukan donor darah atau saat tes kesehatan dalam rangka melamar pekerjaan.
Jadi, ada baiknya kita mengecek Hbs Ag kita masing-masing. Jika positif, kita tak perlu terlalu khawatir. Justru ada hikmahnya agar kita berhati-hati jangan sampai virusnya aktif atau bergejolak.
Salah satu bentuk kehati-hatian itu adalah dengan menerapkan gaya hidup sehat, seperti cukup tidur dan mengurangi makan lemak seperti makanan yang digoreng atau yang bersantan.