Dulu, sekitar awal dekade 1970-an, saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), sepuluh hari terakhir di bulan puasa merupakan hari-hari yang sangat menyenangkan.
Kalau mengacu pada ceramah pak ustaz, 10 hari terakhir Ramadan disebut juga periode terbebas dari neraka. Tentu, hal itu berlaku bagi orang-orang yang sempurna ibadah Ramadannya.
Dalam 10 hari terakhir juga terdapat malam Lailatul Qadar yang disebut sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Tapi, ketika itu saya masih kecil dan bukan soal Lailatul Qadar yang membuat saya menunggu 10 hari terakhir tersebut. Justru aroma sedap dari kue yang dimasak ibu saya, yang membuat saya senang.
Setiap harinya ada satu jenis kue lebaran yang dibuat ibu dengan dibantu kakak perempuan saya. Khusus pada 2 hari terakhir, ibu tidak lagi memasak kue, melainkan memasak lauk untuk hidangan lebaran, yakni rendang daging sapi dan juga dendeng ragi.
Saya sungguh menikmati proses saat ibu membuat kue lebaran, mulai dari mengaduk adonan kue, mencetaknya, dan menyusun di wadah khusus untuk nanti dipanggang.
Belum ada oven seperti sekarang. Tapi, kalau saya tidak salah ingat, yang digunakan adalah sabut kelapa yang dipanggang baik di bagian atas kue maupun di bawahnya.
Nah, ketika kue itu dipanggang, aromanya sedap sekali, terkadang membuat saya ingin membatalkan puasa. Tapi, pasti ibu akan marah kalau puasa saya batalkan.
Alhasil, baru saat berbuka puasa kue tersebut saya cicipi. Itu pun hanya boleh sedikit saja, karena kue-kue itu nantinya untuk disajikan kepada tamu yang nanti datang di hari lebaran.
Sebagian besar kue yang dibuat ibu berbahan utama dari mentega. Tapi, ada juga yang bahan utamanya tepung beras. Kalau tidak salah ingat, ibu juga membuat kue sagon bakar, kue kembang goyang, kacang tojin, dan kue tradisonal lainnya.
Ya, itu kenangan waktu dulu. Sekarang terlalu banyak penjual kue. Jadi, kalau ada ibu-ibu yang membuat kue, kemungkinan memang untuk dijual. Paling tidak, dijual di lingkungan terdekat.