Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Lebaran di Sumbar: Ucapan "Salamaik Rayo" dan Tamu Diwajibkan Menyantap Hidangan

2 Mei 2022   08:19 Diperbarui: 2 Mei 2022   10:42 2721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "Lebaran" sebetulnya tidak ada dalam khazanah bahasa Minang. Tapi, sekarang praktis tidak ada orang Minang yang tak tahu apa itu Lebaran, termasuk yang tinggal di desa dan belum pernah bepergian ke kota besar.

Bahkan, tradisi membuat ketupat pun, setidaknya di kampung saya di Payakumbuh dan juga Bukittinggi, dulunya tidak ada pada saat lebaran.

Bukan berarti orang Minang tidak mengenal ketupat atau dalam bahasa Minang disebut "katupek". Ketupat sayur dengan kuah gulai paku (gulai daun pakis) adalah salah satu kuliner tradisional Minang.

Tapi, ketupat tersebut hanya makanan biasa yang disantap seseorang yang singgah ke kedai penjual ketupat, bukan untuk dimasak khusus menyambut lebaran seperti yang lazim di Jakarta.

Namun, sejak dekade 1980-an, ketika media televisi mulai masuk ke berbagai tempat di Sumbar, termasuk ke desa-desa, akhirnya bagaimana tradisi berlebaran yang tampil di layar kaca, mulai ditiru masyarakat Sumbar.

Meskipun demikian, hingga sekarang tradisi makan bersama pada sebuah keluarga besar di pagi hari setelah mengikuti salat Idul Fitri, masih banyak dijumpai.

Hanya saja, kalau dulu makan bersama dilakukan di rumah gadang (rumah adat khas Minang), sekarang karena rumah gadang banyak yang tidak lagi berpenghuni, maka di mana sebuah keluarga besar akan berkumpul, tergantung pada kesepakatan.

Biasanya di rumah anggota keluarga yang paling tua, misalnya rumah kakek-nenek. Jadi, mulai dari kakek-nenek, anak-anak dan para menantu, serta semua cucu berkumpul di sana.

Bisa juga jika ada kakak beradik yang masing-masing sudah berkeluarga, menjadikan rumah kakak tertua sebagai tempat berkumpul di pagi lebaran pertama.

Di beberapa desa tertentu, kebiasaan makan bersama malah diikuti banyak warga desa dengan mengambil tempat di masjid setelah selesai salat Idul Fitri.

Pada masyarakat Minang tidak ada tradisi sungkeman seperti di Jawa. Bahkan, tradisi cium tangan pun dari yang muda kepada yang tua, seingat saya dulu tidak ada. Hanya bersalaman biasa saja.

Tapi, sejak belasan tahun terakhir ini, anak-anak sudah terbiasa mencium tangan orang tuanya atau orang lain yang jauh lebih tua dari anak-anak tersebut.

Saat berjabat tangan pada hari lebaran, akan diiringi ucapan Idul Fitri "Salamaik ari rayo" atau "Salamaik rayo", yang artinya Selamat Hari Raya atau sering diringkas sebagai selamat raya.

Tentang menu makanan, pada hari raya biasanya masing-masing keluarga membuat masakan spesial, terutama wajib ada rendang daging sapi.

Kenapa disebut istimewa? Meskipun di rumah makan Padang, pasti ada rendang, tapi kalau di rumah-rumah biasa, orang Minang hanya memasak rendang pada waktu tertentu.

Selain lebaran, biasanya rendang juga dimasak saat awal puasa, saat liburan jika banyak orang berkumpul di suatu rumah, dan tentu juga saat ada acara selamatan atau syukuran, termasuk pada acara resepsi pernikahan.

Kenapa hanya pada saat khusus memasak rendang? Karena selain harga daging dan bumbu yang mahal, memasaknya membutuhkan waktu yang relatif lama.

Sampai sekarang banyak warga Sumbar yang masih memasak rendang sendiri. Berbeda dengan membuat kue lebaran yang sudah mulai ditinggalkan, karena banyak yang ingin praktis dengan membeli.

Untuk memasak rendang, bisa menghabiskan waktu seharian. Karena saat mengeringkan rendang, api kompor harus kecil dan harus sering dibolak balik. Bayangkan capeknya, karena ibu-ibu melakukannya sambil berdiri berjam-jam di dapur.

Berkeliling ke rumah tetangga, sahabat, dan sanak famili menjadi acara berikutnya mulai siang hari lebaran pertama, hingga malam lebaran kedua. Bahkan, terkadang pada hari ketiga masih ada juga yang saling berkunjung.

Ada keunikan khusus, jika di desa-desa biasanya tamu wajib makan nasi dengan lauknya, tidak sekadar makan kue kering saja.

Bayangkan, jika seseorang bertamu ke belasan rumah, harus pintar-pintar makan dalam porsi kecil agar kapasitas perut masih muat.

Jika kita menolak ajakan makan dari tuan rumah, takut menyinggung perasaan tuan rumah. Tapi, kalau di daerah perkotaan, tawaran makan biasanya bisa kita tolak dengan berbagai alasan yang logis.

Demikian sekelumit tradisi berlebaran di Sumbar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun