Sungguh saya gagal paham, ketika berada di kampung halaman sendiri, justru saya mengalami kesulitan menemukan takjil berupa jajanan tradisional Minang.
Ceritanya, saya ada keperluan pulang ke kampung halaman di Payakumbuh (Sumbar), pada tanggal 21 hingga 25 April 2022.Â
Setiap berbuka puasa, setelah minum teh manis dan kurma, anggota keluarga di sana, yang kebanyakan adalah para keponakan saya, tak bosan-bosannya makan aneka gorengan.
Sebetulnya, pisang goreng termasuk makanan ringan tradisional Minang. Tapi, gorengan yang banyak dijual pedagang di Payakumbuh lebih bervariasi, mirip dengan gorengan di Jakarta.
Dan memang, pedagangnya pun ternyata banyak perantau asal Jawa yang mengadu nasib di Payakumbuh. Gorengan yang dijualnya terdiri dari banyak jenis seperti pisang, tahu, tempe, bakwan, pisang molen, risoles dan sebagainya.
Dua hari makan gorengan membuat saya bosan. Pada hari ketiga di sana, saya pun berniat mencari takjil semacam lapek bugih, nagasari, serabi, kue talam, dan jajanan pasar tradisional lainnya.
Saya kecewa, setelah berputar-putar di pusat kota Payakumbuh, kue yang saya cari tidak ada. Dari beberapa pedagang makanan ringan saya dapat informasi pada puasa tahun ini tidak ada Pasar Ramadan, sehingga makanan yang saya cari tak ada di pasar.
Hasil pengamatan saya sekilas, kuliner di Sumbar sudah sangat terpengaruh dengan apa yang populer di level nasional, terutama mengacu pada selera di Jakarta dan sekitarnya.
Payakumbuh hanya berpenduduk sekitar 200.000 jiwa. Tapi, sekarang berkembang jadi sentra kuliner di Sumbar bagian utara, sehingga warga Bukittinggi dan Batusangkar banyak yang sengaja ke Payakumbuh untuk mencari tempat makan.
Keberadaan kafe-kafe di malam hari menambah semarak kota Payakumbuh, yang bahkan mengundang banyak pengunjung asal Riau. Kota ini memang terletak di tengah-tengah antara 2 ibukota provinsi, Pekanbaru dan Padang.
Jangan heran kalau di Payakumbuh sudah ada KFC, Pizza Hut, dan berbagai restoran yang bersifat franchise lainnya, baik yang berbau asing maupun nasional.
Belum lagi kalau dihitung banyak sekali pedagang kecil yang menjual ayam goreng tepung ala Amerika, atau ala nasional (tapi bukan lokal Sumbar) seperti ayam geprek, ayam penyet, tahu berontak, dan sebagainya.
Tapi, satu hal yang menarik perhatian saya, ada banyak warung pecel lele di Payakumbuh yang menyebar hingga pinggir kota. Ada yang bergaya tenda kaki lima, ada pula yang bergaya restoran kekinian dengan bangunan permanen.
Hebatnya, sambal pecel lele di Sumbar bisa dimodifikasi sehingga cocok dengan lidah Minang. Artinya, jika banyak warung Padang yang merambah pulau Jawa dengan memodifikasi rasa tidak sepedas aslinya di Sumbar, pedagang pecel lele juga bisa beradaptasi.
Keberanian para perantau asal Jawa yang membuka warung pecel lele dan pecel ayam pantas diacungi jempol. Mereka tidak takut bersaing dengan pedagang warung nasi masakan Minang di "kandang" orang Minang itu sendiri.
Dengan demikian, anggapan bahwa lidah Minang hanya cocok dengan masakan Minang, terpatahkan sudah. Soalnya, selain pecel lele, di Payakumbuh juga ada Soto Lamongan, Soto Betawi, Soto Bandung, Nasi Uduk, dan sebagainya.
Beberapa orang keponakan saya malah jadi ketagihan makan pecel lele. Ada sensasi tersendiri saat makanan masuk ke lidah, kata mereka.
O ya, di atas saya telah menyinggung tentang maraknya kafe-kafe di Payakumbuh. Yang menarik bagi saya, banyak kafe yang dilengkapi dengan live music.
Menurut saya, Payakumbuh berkembang pesat menjadi semacam "Little Bandung" atau "Little Kuta" di Sumbar.
Secara umum masyarakat Sumbar boleh dibilang religius. Tapi, untuk Payakumbuh, masyarakatnya cukup terbuka, sehingga kehadiran live music disukai warga setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H