Melakukan perjalanan mudik dari kota tempat seseorang bekerja ke kampung halamannya, sudah tradisi di negara kita dalam rangka merayakan Idul Fitri atau yang lebih sering kita sebut dengan lebaran.
Mudik lebaran tersebut dari tahun ke tahun (kecuali pada waktu pandemi lagi marak pada lebaran 2020 dan 2021) selalu mengalami peningkatan dilihat dari jumlah pemudik.
Tentu, seiring dengan itu, meningkat pula jumlah kendaraan yang digunakan pemudik, jumlah belanja barang yang dilakukan untuk dibawa ke kampung, serta jumlah uang yang beredar di kampung-kampung.
Jadi, secara ekonomi mudik lebaran sangat bermanfaat mengalirkan arus uang dari kota besar ke kota kecil dan desa-desa. Maka, dilihat dari usaha memperkecil kesenjangan antar daerah, hal ini bernilai positif.
Peningkatan jumlah pemudik merupakan hal yang wajar mengingat laju urbanisasi di negara kita terbilang pesat. Bahkan, perkembangan beberapa kota besar cenderung tak terkendali akibat derasnya urbanisasi.
Anak muda yang tetap tinggal di pedesaan semakin sedikit karena kebanyakan mereka lebih tertarik mengadu nasib di perkotaan, khususnya kota besar.
Jelas tidak semua perantau berhasil meraih kesuksesan. Sebagian kecil ada yang diam-diam kembali ke kampungnya dan menggarap lahan pertanian atau usaha lain yang lazim di pedesaan.
Tapi, sebagian besar tetap bertahan di kota perantauan. Meskipun gagal diterima bekerja di sektor formal, mereka yang gigih bisa memperoleh rezeki dari sektor informal seperti jadi pedagang kaki lima, buruh bangunan, pengojek motor, dan sebagainya.
Baik pekerja formal maupun informal sama-sama bergembira menyambut lebaran dengan melakukan perjalanan mudik ke kampung halaman.
Nah, yang menjadi masalah adalah dampak penampilan para pemudik di mata warga desanya. Termasuk pengaruh cerita para pemudik di hadapan anak muda di warung tempat kumpul-kumpul di desa tersebut.