Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Terpuruk di Tanah Rantau? Jangan Paksakan Mudik Kalau Ngutang

15 April 2022   18:53 Diperbarui: 15 April 2022   18:56 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mudik lebaran|dok. shutterstock, dimuat kumparan.com

Mudik lebaran merupakan tradisi di negara kita yang telah berlangsung sejak dulu. Memang, saat pandemi pada lebaran 2020 dan 2021, jumlah para pemudik jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Sekarang, meskipun pandemi belum berakhir, namun relatif mulai bisa dikendalikan. Makanya, diperkirakan jumlah para pemudik akan meningkat tajam.

Masalahnya, untuk mudik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Di lain pihak, banyak pula warga perkotaan yang biasanya mudik, sedang menghadapi kesulitan keuangan.

Ada yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada yang mengalami pemotongan gaji karena keterbatasan kemampuan keuangan perusahaan tempatnya bekerja. 

Mungkin juga banyak yang berwirausaha, namun karena terimbas dampak pandemi yang lalu, mengalami kebangkrutan. Ingin bangkit lagi tapi modal sudah habis.

Ada lagi yang membuat kehidupan sekarang bagi masyarakat kelas menengah ke bawah terasa semakin berat, bahkan membuat mereka terpuruk, yakni kondisi perekonomian yang kurang kondusif.

Kondisi tersebut bisa jadi sebagai dampak tidak langsung dari perang Rusia-Ukraina. Jadi, setelah negara kita dihantam pandemi, berlanjut dengan "hantaman" perang yang berdampak pada harga komoditas.

Seperti kita ketahui, harga barang kebutuhan pokok seperti berlomba-lomba naik sejak beberapa bulan terakhir ini. Tak usahlah ditulis apa saja barang yang naik tersebut, terlalu banyak soalnya.

Memang, ada juga barang yang tidak naik harganya karena disubsidi pemerintah, seperti minyak goreng curah dan gas elpiji ukuran 3 kg. Tapi, untuk mendapatkannya tidak mudah, perlu melewati antrean yang panjang.

Nah, sulit membayangkan, bagaimana caranya sebagian masyarakat yang dalam kondisi kekurangan tersebut dalam menyambut idul fitri mendatang? Paling tidak, dalam konteks mudik lebaran, terdapat 2 kelompok berikut ini.

Pertama, mereka yang nekat mudik dengan segala cara, kalau perlu berutang. Memaksakan diri seperti ini tentu sangat riskan dan sebaiknya dipertimbangkan lagi dengan matang.

Prinsip "mangan ora mangan asal kumpul" (makan atau tidak makan asal berkumpul) memang ada bagusnya. Tapi, itu tadi, jangan sampai besar pasak dari tiang. Maksudnya, jangan sampai tekor.

Memang, ada orang yang agar bisa menghemat, nekat mudik naik motor dengan jarak tempuh ratusan kilometer. Bahkan, ada yang menggunakan bajaj (mungkin di Jakarta ia penarik bajaj).

Kenekatan seperti itu berisiko tinggi. Bisa-bisa nyawa taruhannya jika kendaraan yang tidak dirancang untuk perjalanan jauh digunakan untuk mudik. Apalagi, bila kendaraan tersebut juga disesaki aneka kardus.

Kedua, mereka yang dengan berat hati, atau dengan ikhlas, memilih untuk tidak mudik. Mereka cukup puas hanya sekadar berkirim kabar kepada sanak famili di kampung halaman.

Atau, kalau masih ada sedikit rezeki (namun tidak cukup untuk mudik), memilih untuk berkirim bingkisan lebaran kepada orang tua atau famili lainnya.

Dengan bingkisan tersebut, sudah menjadi bukti bahwa mereka yang dirantau punya kerinduan kepada keluarga yang di kampung, hanya saja belum bisa bertemu langsung. Bingkisan bisa dianggap sebagai "ganti diri" dalam memelihara silaturahmi.

Tentu, kita tak usah membahas mudiknya warga yang masih memiliki kemampuan finansial, yakni kelompok kelas menengah ke atas.

Mereka diperkirakan akan mudik, bahkan mungkin akan pamer saat mudik tersebut, sebagai bukti kesuksesan mereka di tanah rantau. 

Kalaupun mereka tidak punya kendaraan, tapi masih mampu menyewa kendaraan seolah-olah milik sendiri saat berada di kampung halaman.

Membeli oleh-oleh dan mentraktir orang kampung, jangan sampai ketinggalan. Apalagi, bagi yang sudah 2 tahun tidak mudik, mungkin sudah tidak sabar melampiaskan kerinduannya bertemu keluarga.

Kemudian, menikmati udara segar di tanah kelahiran sendiri, jelas punya sensasi tersendiri, setelah sekian lama terpapar polusi di kota besar yang menjadi tempat mereka mencari nafkah.

Selamat mudik bagi yang memang punya keleluasaan untuk itu. Bagi yang belum punya kelapangan, tak usah kecewa. Tetap perlu berpikir jernih, antara lain dengan tidak berutang yang nantinya malah menyulitkan bila nekat mudik.

Keterbatasan yang kita punyai, bukan penghalang untuk selalu bersyukur. Yakinlah, Allah akan menambah kenikmatan kepada orang-orang yang bersyukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun