Seorang putri artis yang masih berusia 6 tahun, mengatakan ingin menjadi ustazah ketika diwawancarai oleh reporter acara seputar dunia selebriti di sebuah stasiun televisi.
Sungguh mulia cita-cita putri artis yang di usia sekecil itu sudah memakai hijab. Bukankah lebih banyak anak-anak artis yang menginginkan nantinya jadi artis juga?
Jelas, ada perbedaan antara artis dan ustaz atau ustazah, meskipun keduanya bisa saja menjadi sama-sama public figure. Artis dianggap lebih dekat ke soal duniawi, sedangkan ustaz atau ustazah lebih dekat ke soal ukhrawi.
Tapi, anggapan seperti itu tidak berlaku mutlak, karena urusan dunia dan akhirat tersebut bisa saja sudah membaur. Artis yang lagunya atau film yang dibintanginya bermuatan religi, bisa menggugah penggemarnya untuk lebih ingat soal akhirat.
Sementara itu, meskipun untuk "reward" utama atas pekerjaan ustaz adalah berupa pahala dari Allah, tak urung juga bisa menjadi "profesi" dalam arti mendapatkan honor berupa uang.
Contohnya, baru-baru ini putra saya baru saja mengakikahkan anaknya yang baru lahir, yang sekaligus menjadi cucu pertama saya. Â
Ketika itu, ada seorang ustaz lokal yang dikenal di lingkungan asrama yatim piatu tempat acara akikah berlangsung, yang memberikan semacam ceramah sekaligus memimpin doa.Â
Takut nanti anak saya lupa, ketika acara mau berakhir, saya bisikkan ke anak saya, apakah ia sudah menyiapkan amplop untuk pak ustaz?
Untungnya anak saya sudah menyiapkan sambil bertanya apakah cukup diisikan sejumlah beberapa lembar uang Rp 100.000. Saya sebetulnya tidak paham tentang standar amplop ustaz lokal, tapi saya dengan feeling saja, bilang oke ke anak saya.
Kesan beberapa ustaz seperti mengkomersilkan ceramahnya, adakalanya tidak terhindarkan. Namun, tentu saja semuanya tergantung niat masing-masing penceramah.
Dan soal niat, itu tersemat dalam hati yang tidak akan diketahui orang lain. Hanya orang itu dan Allah yang tahu.
Terlepas dari itu, tanpa bermaksud menyindir, bulan puasa merupakan masa "panen" bagi ustaz dan uztazah. Adakalanya, ustaz terpaksa menolak undangan karena jadwalnya sudah penuh selama satu bulan.
Memang, rasanya tak ada uztaz atau uztazah yang memasang tarif seperti halnya ceramah dari para motivator, pembawa acara, atau pembicara di sebuah forum seminar.
Tapi, dari cerita mulut ke mulut, biasanya sudah terbentuk "tarif" seorang penceramah agama. Penceramah kelas nasional (terkenal secara nasional) tentu "tarif"-nya lebih mahal ketimbang ustaz lokal.
Apalagi, penceramah papan atas biasanya punya tim manajemen sendiri, sehingga "negosiasi" (kalaupun bukan negosiasi "tarif", lazimnya perlu negosiasi waktu) antara pihak pengundang dan sang ustaz, dilakukan melalui tim manajemen.
Tak perlu lagi dipertentangkan apakah ustaz itu sebuah profesi atau semata ibadah, karena dimensi ibadah pun bisa diartikan secara luas.Â
Sehingga, orang yang mencari rezeki demi menghidupi keluarganya di jalan yang halal, dengan niat karena Allah akan bernilai ibadah.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H