Sekarang, kisah tentang mafia makin banyak mengemuka. Terlepas dari ketepatan istilah yang dipakai, buktinya media massa banyak yang menyandingkan istilah mafia dengan kata lain.
Contohnya, sekarang lagi ribut-ribut tentang dugaan adanya mafia minyak goreng yang "menggoreng" harga minyak goreng. Mungkin juga ada mafia solar, atau sebut saja barang lain yang lagi naik harganya.
Tapi, tulisan ini tidak bermaksud membahas mafia tersebut lebih jauh. Di Sumbar, ada istilah yang mirip dengan mafia, yakni "mapia".
Sebelum itu, perlu diketahui bahwa di  Sumbar, penyebutan nama-nama daerah oleh lidah lokal bisa berbeda dengan nama resminya.Â
Misalnya, meskipun nama resmi kampung saya adalah Payakumbuh, tapi orang Minang sendiri melafazkan "Payokumbuah" atau "Pikumbuah".
Demikian pula "Bukittinggi" menjadi Bukiktinggi, atau "Batusangkar" menjadi Batusangka. Namun, ada juga yang lidah lokal pun menyebut sama dengan nama resmi, seperti Padang, Solok, Padangpanjang, Painan, dan sebagainya.
Nah, yang menjadi fokus tulisan ini adalah tentang daerah Pariaman, yang terletak di sebelah utara kota Padang. Lidah setempat menyebut Pariaman sebagai "Piaman".Â
Meskipun secara umum orang Minang punya budaya merantau, tapi khusus daerah Pariaman, budaya merantaunya lebih kuat lagi ketimbang daerah lain di Sumbar.
Perantau asal Pariaman juga terkenal kompak dan saling membantu, sehingga kemudian lahirlah istilah "mapia" sebagai plesetan dari mafia. Mapia di sini adalah "Masyarakat Piaman".Â
Organisasi para perantau Minang jumlahnya sangat banyak, tapi yang terorganisir dengan baik relatif sedikit. Di antara yang sedikit itu, ada nama PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman).
PKDP didirikan pada 29 April 1984 di Pariaman, tapi organisasi ini bersifat nasional. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) berkedudukan di Jakarta dan cabangnya tersebar di banyak kota di Indonesia.
Dari pengamatan saya secara sekilas, banyak sekali anggota mapia yang sukses membuka usaha Rumah Makan Padang dan Sate Padang.
Sebagai contoh, dekat rumah saya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, beberapa rumah makan Padang yang loksi usahanya berdekatan, semuanya milik perantau asal Pariaman.
Demikian pula pedagang sate Padang. Kalau ini lebih gampang ditandai, karena namanya pakai "ajo" (sebutan kakak laki-laki di Pariaman, kalau di daerah Sumbar lainnya disebut "uda").
Seingat saya, di Pasar Santa, Jakarta Selatan, ada Sate Padang Ajo Ramon, yang lumayan banyak pelanggannya. Kebetulan, saya adalah salah satunya.
Tapi, salah satu "gembong mapia" yang betul-betul kisah hidupnya menginspirasi banyak perantau Minang, adalah sosok seorang "crazy rich" bernama Basrizal Koto.
Seperti ditulis Kumparan.com (23/2/2022), Basrizal ketika kecil tidak tamat SD. Lelaki asal Pariaman kelahiran 1959 tersebut putus sekolah pada kelas 5 SD dan setelah itu merantau ke Riau.
Ia memulai karier dengan menjadi kernet angkutan umum, kemudian naik pangkat jadi sopir. Selanjutnya, Basrizal merambah bidang lain, menjadi tukang jahit dan penjual pete.
Berkat ketekunan dan keuletannya, Basrizal kemudian jadi penjual motor pada usia 17 tahun. Pada usia dewasanya, Basrizal telah memiliki banyak perusahaan yang begerak di berbagai bidang.
Basko Grand Mall merupakan mal dan hotel milik Basko (Basrizal Koto) yang berada di Padang. Ia menjadi tajir melintir dari bisnis properti, percetakan, media, tambang batu bara, peternakan, pengalengan daging, dan sebagainya.
Sekarang, Basrizal sering tampil di depan publik dengan gaya yang elit, antara lain dengan memakai jam tangan Richard Mille seharga Rp 2 miliar.
Basko juga gemar mengoleksi stik golf dan mengoleksi motor gede yang tergabung dalam klub motor Harley Davidson.Â
Tapi, aksi pamer kekayaan gaya Basko itu memang dari jerih payahnya sendiri, bukan seperti yang dilakukan "crazy rich abal-abal".
Nah, bagaimana aksi para mapia dalam bulan puasa? Selain tetap beribadah, mereka makin gigih berusaha dalam mencari rezeki yang halal.
Para mapia yang sudah mengumpulkan uang, lazimnya akan menjadikan momen mudik lebaran untuk menunjukkan kesuksesan yang telah diraihnya.
Namun, sekiranya kondisi keuangan belum memungkinkan, mereka lebih baik tidak pulang kampung dan cukup berkirim kabar melalui pesan pendek saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H