Dunia ini panggung sandiwara, kata sebuah lagu yang sangat populer di dekade 1970-an yang dibawakan oleh rocker Ahmad Albar.Â
Salah satu bait dari lagu tersebut berbunyi; "setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan, ada peran wajar, ada peran berpura-pura".
Kalau dipikir-pikir, syair lagu tersebut ada benarnya. Tapi, tulisan ini tidak akan membedah hal itu. Tulisan ini mencoba memaparkan apa itu sandiwara dan bagaimana perkembangannya dari dulu hingga kini.
Tahun 1970-an, sandiwara sangat populer. Ada serial sandiwara radio yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) yang banyak penggemarnya, judulnya "Butir-butir Pasir di Laut".
Kemudian, di kampung-kampung dulu sering para remaja berlatih main sandiwara dan dipentaskan pada acara memperingati hari kemerdekaan atau pada malam lebaran.
Secara umum, pengertian sandiwara bisa dianggap sama dengan drama. Hanya saja, istilah sandiwara terkesan sudah "kuno". Tapi, istilah drama pun sekarang lebih sering disebut sebagai teater.Â
Bisa jadi ada perbedaan antara ketiganya (sandiwara, drama, dan teater). Namun, kalaupun berbeda, hubungan ketiganya sangat dekat, ya mirip "adik-kakak".
Yang jelas, ketiganya merupakan cabang seni yang lebih menonjolkan akting para pemainnya. Bahkan, konon istilah sandiwara tersebut berasal dari kata sandi dan wara.
Sandi artinya rahasia, sedangkan wara berarti ajaran. Jadi, sandiwara adalah drama yang mengandung ajaran yang tersamar tentang kehidupan.
Tapi, mungkin sudah kehendak zaman, istilah sandiwara tidak bergaung lagi. Bahkan, tetaer pun yang lebih dipahami anak sekarang, juga sudah terasa usang sejak hampur semua orang bisa menayangkan video yang dibuatnya di media sosial.
Tak heran, pada Hari Teater 2022 yang jatuh pada 27 Maret lalu, nyaris tak terdengar ada acara khusus oleh penggiat teater agar masyarakat bisa memberikan perhatian pada aktivitas seni peran tersebut.
Sinetron televisi telah melewati zaman keemasannya. Sedangkan produksi film masih menggeliat, meskipun masyarakat menontonnya tak perlu harus ke bioskop.
Banyak yang mengatakan bahwa menjadi pemain teater lebih susah dari menjadi pemain film. Makanya, aktor panggung akan lebih gampang ketika mendapat tawaran untuk membintangi sinetron atau film layar lebar.
Sebaliknya, bintang film yang tidak berasal dari teater belum tentu mampu jago bermain teater. Dulu ada nama-nama besar di dunia tetar Indonesia yang kemudian juga merambah dunia perfilman, seperti WS Rendra, Ikranagara, Putu Wijaya dan Remy Sylado.
Tapi, sekarang seni teater kita relatif jarang lagi beraksi. Selain karena alasan pandemi, para penggiat teater yang beraktivitas secara konsisten semakin langka
Salah satu yang masih eksis adalah Teater Koma yang berhasil mengkombinasikan sisi idealisme dan sisi komersial dari sebuah pertunjukan teater, sehingga mampu bertahan hidup dalam jangka panjang.
Kembali ke soal panggung sandiwara, tampaknya sekarang ini merupakan sandiwara dengan cerita yang pahit melulu. Setelah kepahitan karena pandemi mereda, berlanjut dengan drama kenaikan harga barang-barang yang sungguh tak terkira.
Tak perlulah ditulis barang apa saja yang mengalami kenaikan harga, terlalu banyak soalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H