Ada-ada saja anak saya. Sungguh tak terpikir bagi saya, kalau ia meminta anaknya (yang sekarang masih bayi dan sekaligus membuat saya resmi menyandang gelar kakek) memanggil "babe" kepadanya.
Ya, gak salah juga sih, banyak orang Jakarta yang memanggil "babe" kepada ayahnya. Dan jika anak saya mengaku orang Jakarta, sah-sah saja karena ia lahir, besar, dan sampai sekarang masih tinggal di Jakarta.
Bahwa kedua orang tuanya, lahir di Sumbar, itu soal lain. Anak saya berarti orang Jakarta yang berdarah Minang.
Yang saya masalahkan, anak saya tidak konsisten. Harusnya kalau si ayah dipanggil babe, maka si ibu disebut "nyak", begitulah yang saya ketahui digunakan masyarakat Betawi.
Nah, kesepakatan anak saya dengan istrinya, sang istri dipanggil "bubun" oleh anaknya, yang berasal dari kata bunda.
Setahu saya, istilah bunda sudah menjadi bahasa Indonesia yang dipasangkan dengan "ayah". Tapi, dulu di Sumbar ada sebutan "bundo" untuk ibu, yang sekarang sangat jarang digunakan.
Jadi, menurut logika saya, sebaiknya memilih apakah pakai ayah-bunda atau nyak-babe, bukan babe-bubun.
O ya, istri anak saya ini alias menantu saya, juga anak Jakarta berdarah Jawa-Banten. Ayahnya berasal dari Malang, dan ibunya punya darah Banten.Â
Kalau gak salah, dalam bahasa Jawa sebutan untuk ayah ada bermacam-macam, seperti bapak, ayah, pa'e, atau bapa'e. Â Sedangkan untuk ibu adalah mbok, ma'e, dan mak.
Untuk bahasa Banten, jujur saya belum tahu. Tapi, dari referensi yang saya temukan, ayah-ibu di Banten disebut mame-mamak.
Ingin tahu apa alasan anak saya pakai Babe-Bubun? Alasannya, agar nanti ketika si bayi sudah besar, akan ngobrol dengan ayahnya seperti ngobrol sama teman. Ia merasa lebih akrab dengan panggilan babe.