Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pelaku Perjalanan Domestik Perlu Kejujuran, Bukan Akal-akalan

10 Maret 2022   08:28 Diperbarui: 10 Maret 2022   17:03 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penumpang kereta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sumber: Antara Foto/Rivan Awal Lingga via Kompas.com

Syarat perjalanan domestik mulai diperlonggar oleh pemerintah. Bagi mereka yang sudah divaksin dua kali atau telah mendapat vaksin booster, tidak wajib lagi menjalani pemeriksaan antigen atau PCR.

Tentu, ketentuan itu disambut gembira oleh masyarakat, terutama yang relatif sering bepergian, baik karena keperluan dinas maupun keperluan keluarga.

Begitu juga mereka yang sudah kebelet untuk berkunjung ke destinasi wisata, karena sudah sumpek tidak refreshing selama pandemi melanda negara kita sejak 2 tahun lalu.

Sebetulnya, selama ini mereka yang melakukan perjalanan domestik sudah lumayan ramai, meskipun belum sebanyak sebelum pandemi.

Hanya saja, mau naik moda transportasi apapun (darat, laut dan udara) menjadi jauh lebih mahal dari biasanya karena harus merogoh kocek untuk tes antigen atau PCR.

Tidak hanya soal uang, waktu yang terbuang lumayan banyak. Selain menyediakan waktu untuk pemeriksaan, juga harus datang ke bandara, pelabuhan, terminal, atau stasiun, jauh lebih awal sebelum jadwal keberangkatan.

Korban waktu, uang, dan tenaga saja, kadang-kadang masih belum cukup. Agar bisa terbang, ada saja orang yang "kreatif", padahal secara ketentuan seharusnya tidak bisa terbang. 

Maksudnya, ada saja akal-akalan dari orang yang seharusnya melakukan isolasi mandiri, tapi malah bepergian. Tentu, ini sangat berbahaya karena bisa menularkan penyakit kepada orang lain.

Contohnya, berdasarkan cerita seorang teman yang mau terbang dari kota Tangerang ke kota Pekanbaru pada Februari 2022 lalu. Teman ini sudah beberapa kali bolak balik ke tempat yang sama. Ia tinggal di Tangerang, tapi punya bisnis di Pekanbaru.

Suatu kali, anaknya yang sudah bekerja di sebuah perusahaan, tiba-tiba pulang saat jam kerja. Rupanya di kantornya seminggu sekali ada tes antigen. Ketika itu hasil tes si anak positif, makanya disuruh isolasi mandiri di rumah. 

Kemudian, kedua orang tuanya juga mencari lab yang menyediakan pemeriksaan antigen. Ternyata ayahnya terpapar, sedangkan ibunya negatif.

Padahal, si ayah tersebut sudah membeli tiket ke Pekanbaru yang berangkatnya 2 hari lagi. Karena merasa sehat, si ayah ini tetap ingin terbang.

Ia teringat ada seorang temannya yang punya klinik yang juga punya fasilitas pemeriksaan antigen. Meskipun agak jauh dari rumahnya, ia tetap pergi ke sana sehari sebelum jadwal ke Pekanbaru.

Tak diceritakannya ke temannya yang pemilik klinik bahwa ia positif, hanya ia minta tolong apakah bisa memberikan surat pemeriksaan antigen tanpa diperiksa.

Mungkin karena percaya bahwa temannya sehat, si pemilik klinik menyanggupi permintaan itu. Maka, terbanglah ia ke Pekanbaru dengan selamat, baru setelah itu ia mengisolasi diri.

Nah, dari obrolan dengan pemilik klinik inilah berkembang cerita bahwa kasus akal-akalan tersebut ternyata masih terjadi. Artinya, diduga jumlah mereka yang terpapar Covid-19 jauh lebih tinggi dari data resmi yang diumumkan pemerintah.

Kisah berikutnya berasal dari teman yang lain lagi, yang pulang kampung dari Jakarta ke kota Padang dengan membawa mobil pribadi.

Ada 3 orang di atas mobil, tapi seorang di antaranya tidak mau diperiksa antigen. Padahal, saat mau naik kapal feri (karena menyeberang pulau), di gerbang masuk ada pemeriksaan tiket dan surat hasil tes antigen. 

Yang satu orang tersebut selamat karena bersembunyi dekat tumpukan barang di jok belakang dan petugas tidak terlalu ketat memeriksa para penumpang di atas mobil.

Begitulah, kreativitas berkonotasi negatif di atas biasanya muncul untuk menyiasati peraturan yang ketat. Dapat disimpulkan, bahwa sebagian warga memandang peraturan sekadar penghambat, bahkan ada yang curiga dengan "permainan" bisnis di balik itu.

Sebetulnya, yang dibutuhkan bukan peraturan yang ketat, seandainya masyarakat punya kesadaran yang tinggi. Inilah yang terpenting, bagaimana membangun kesadaran bahwa semua ini demi keselamatan kita sendiri.

Kita sambut gembira adanya pelonggaran ketentuan perjalanan dalam negeri. Dengan demikian tak perlu akal-akalan lagi seperti kisah di atas.

Tapi, bukan berarti semua orang akan bebas melenggang ke mana saja. Justru, saatnya kita mulai sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan.

Untuk itu, kita harus jujur kepada diri sendiri. Kalau merasa kurang fit, ya jangan bepergian. Bahkan, sebaiknya dengan inisiatif sendiri melakukan konsultasi ke dokter, baik secara langsung maupun secara online.

Kalau dokter meminta untuk tes antigen atau PCR, ya ikuti saja tanpa akal-akalan. Asyiknya berjalan-jalan tak sebanding dengan ongkos kesehatan yang harus ditanggung bila dilakukan sambil membawa penyakit.

Bagi yang sehat pun diharapkan tidak "balas dendam" karena sudah lama terkurung, tidak kebablasan sampai berhura-hura, dan tidak menimbulkan euforia. Ingat, tanpa antigen dan PCR bukan berarti tanpa protokol kesehatan.

Ilustrasi kesibukan di bandara|dok. Tribunnews.com/Dahlan Dahi
Ilustrasi kesibukan di bandara|dok. Tribunnews.com/Dahlan Dahi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun