Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dampak Perang: Baru Naik, Harga Gas Elpiji Naik Lagi

5 Maret 2022   06:04 Diperbarui: 5 Maret 2022   06:42 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang Rusia-Ukraina sudah berlangsung lebih dari satu minggu, jika dihitung sejak Presiden Rusia Vladimir Putin mendeklarasikan perang dengan Ukraina pada Rabu (23/2/2022). 

Meskipun perundingan antara kedua belah pihak sudah pernah dilakukan, sejauh ini belum terlihat tanda-tanda peperangan akan segera berakhir.

Presiden Joko Widodo lewat cuitan di akun Twitter resminya menyatakan: "Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia."

Tapi, begitulah, meskipun banyak sekali imbauan dari berbagai negara yang senada dengan Presiden Joko Widodo, berkemungkinan besar perang akan memakan waktu yang relatif lama. 

Akibatnya, seperti telah ditulis Joko Widodo, umat manusia jadi sengsara. Tentu, yang paling sengsara adalah rakyat Ukraina. Telah banyak warga tak berdosa menjadi korban.

Aliran pengungsi dari Ukraina ke negara lain di sekitarnya terus mengalir sebagai upaya untuk mencari tempat yang lebih aman. Demikian pula yang dilakukan warga negara Indonesia (WNI) di sana.

Indonesia memang sangat jauh jaraknya dari lokasi peperangan. Tapi, kesengsaraan dalam bentuk lain sudah mulai dirasakan masyarakat di negara kita.

Kesengsaraan dimaksud adalah dalam bentuk pengeluaran yang lebih besar karena naiknya harga berbagai barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari.

Contohnya, harga elpiji naik lagi, padahal baru sekitar 2 bulan yang lalu sudah naik. Jadi, harga gas nonsubsidi (tabung ukuran 5 kg ke atas), mengalami dua kali kenaikan dalam waktu singkat.

Lho, memangnya ada apa dengan perang Rusia-Ukraina kok merembet ke masalah dapur sebagian besar rumah tangga di Indonesia?

Bukankah yang sering ditulis media massa, peperangan akan mempengaruhi harga minyak internasional, apalagi mengingat Rusia merupakan negara 3 besar penghasil  minyak dunia.

Memang, harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi sudah naik dua kali juga dalam waktu singkat ini, yakni untuk jenis Pertamax Turbo, Pertamax Dex, dan Dexlite. 

Tapi, kenaikan BBM tersebut tak seheboh kenaikan gas elpiji karena BBM nonsubsidi dikonsumsi kalangan menengah ke atas.

Mungkin secara teknis, pakar di bidang minyak dan gas yang lebih tepat untuk menjelaskannya, tapi pada intinya harga minyak dan harga gas itu saling berkaitan.

Dalam kontrak pembelian gas, seperti kalau Indonesia mengimpor, lazim harga yang disepakati dikaitkan dengan harga minyak

Pertanyaan berikutnya, bukankah Indonesia punya sumber gas yang melimpah, kok masih mengimpor? Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi, jika dikonversi menjadi LPG sebetulnya mencukupi konsumsi domestik.

Masalahnya, karakteristik  gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta merta dapat  dikonversi menjadi LPG (cnbcindonesia.com, 25/1/2019).

Masih banyak dampak perang terhadap perekonomian Indonesia yang pada intinya berkisar pada hambatan baik dalam mengekspor barang maupun mengimpor.

Bahkan, mi instan yang merupakan makanan sejuta umat (lebih tepatnya ratusan juta umat, karena penduduk Indonesia sudah hampir 300 juta jiwa), juga terpengaruh.

Soalnya, bahan baku mi (dan juga roti) adalah gandum, dan 27,5 persen ekspor gandum dunia berasal dari 2 negara, Rusia dan Ukraina.

Jadi, jika perang masih berkepanjangan, jangan kaget kalau harga semangkuk mi akan naik. Maka, lengkap sudah penderitaan emak-emak, karena hampir semua barang kebutuhan dapur mengalami kenaikan.

Sebut saja, mulai dari minyak goreng, telur ayam, cabai merah, bawang merah, tahu tempe, gas elpiji, roti, dan mi instan. Jangan tanya tentang daging sapi. Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa jadi terpaksa puasa makan daging. 

Seperti diketahui, baru-baru ini tahu tempe langka di pasar-pasar tradisional menyusul produsen tahu tempe mogok berproduksi akibat kenaikan harga kedelai yang menjadi bahan baku tahu tempe.

Berikutnya, giliran pedagang daging sapi yang melakukan aksi mogok berjualan, juga gara-gara kenaikan harga yang signifikan.

Dampak yang paling parah yang akan terjadi bila perang meluas, umpamanya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa ikut bertempur, adalah terjadinya resesi global. 

Kita tidak berharap resesi dunia terjadi, tapi harus diantisipasi. Semoga perundingan antara Rusia-Ukraina segera menemukan kesepakatan untuk mengakhiri perang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun