Memang, harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi sudah naik dua kali juga dalam waktu singkat ini, yakni untuk jenis Pertamax Turbo, Pertamax Dex, dan Dexlite.Â
Tapi, kenaikan BBM tersebut tak seheboh kenaikan gas elpiji karena BBM nonsubsidi dikonsumsi kalangan menengah ke atas.
Mungkin secara teknis, pakar di bidang minyak dan gas yang lebih tepat untuk menjelaskannya, tapi pada intinya harga minyak dan harga gas itu saling berkaitan.
Dalam kontrak pembelian gas, seperti kalau Indonesia mengimpor, lazim harga yang disepakati dikaitkan dengan harga minyak
Pertanyaan berikutnya, bukankah Indonesia punya sumber gas yang melimpah, kok masih mengimpor? Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi, jika dikonversi menjadi LPG sebetulnya mencukupi konsumsi domestik.
Masalahnya, karakteristik  gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta merta dapat  dikonversi menjadi LPG (cnbcindonesia.com, 25/1/2019).
Masih banyak dampak perang terhadap perekonomian Indonesia yang pada intinya berkisar pada hambatan baik dalam mengekspor barang maupun mengimpor.
Bahkan, mi instan yang merupakan makanan sejuta umat (lebih tepatnya ratusan juta umat, karena penduduk Indonesia sudah hampir 300 juta jiwa), juga terpengaruh.
Soalnya, bahan baku mi (dan juga roti) adalah gandum, dan 27,5 persen ekspor gandum dunia berasal dari 2 negara, Rusia dan Ukraina.
Jadi, jika perang masih berkepanjangan, jangan kaget kalau harga semangkuk mi akan naik. Maka, lengkap sudah penderitaan emak-emak, karena hampir semua barang kebutuhan dapur mengalami kenaikan.
Sebut saja, mulai dari minyak goreng, telur ayam, cabai merah, bawang merah, tahu tempe, gas elpiji, roti, dan mi instan. Jangan tanya tentang daging sapi. Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa jadi terpaksa puasa makan daging.Â