Jujur, dari dalam hati saya sangat bersimpati dengan aksi mogok para perajin tahu tempe selama 3 hari terhitung sejak 21 Februari 2022. Dengan mogok berproduksi, mudah-mudahan pemerintah bisa segera merespon tuntutan perajin tahu tempe.
Apa saja tuntutan mereka? Sebetulnya ini lagu lama yang selalu terulang, yakni mengharapkan agar harga kedelai sebagai bahan baku tahu tempe bisa stabil.
Maksud stabil di atas adalah dengan menurunkan kembali ke harga sekitar Rp 9.000 per kilogram, padahal sekarang harganya melambung ke kisaran Rp 11.000-12.000.
Akibatnya, produsen tahu tempe kesulitan dalam menjual produksinya. Menaikkan harga jual atau memperkecil ukuran tahu tempe berpotensi menyebabkan konsumen enggan membeli.
Tapi, setelah saya pikir-pikir, mendukung aksi mogok juga ada dampak negatifnya kepada saya sekeluarga. Pada Senin siang (21/2/2022) istri saya ke pasar tradisional dekat rumah, mendapati bahwa tahu tempe betul-betul tidak ada.Â
Artinya, produsen tahu tempe, paling tidak di Jabodetabek, memang kompak. Tadinya, saya pikir tahu tempe hanya sekadar langka, barangnya ada tapi dengan stock menipis dan harga lebih mahal.
Saya terpana ketika istri saya melapor bahwa tahu tempe kosong di pasar. Sekali lagi, tahu tempe kosong, bukan tahu tempe langka.
Istri saya sangat tahu betapa tingginya kegemaran saya makan tahu tempe. Kehilangan tahu tempe membuat saya merasa kurang "nendang" saat makan. Â
Tidak terlalu masalah bagi saya misalnya di meja makan tidak ada goreng ayam, rendang, atau aneka makanan berbahan daging lainnya. Asal tahu tempe masih ada.
Makanya, Â dua makanan ini hampir selalu ada (bisa dua-duanya sekaligus atau salah satu) di rumah saya dengan berbagai variasi olahan.
Sebagai seorang "tahu tempe mania", saya tidak hanya menjadikan tahu tempe sebagai lauk saat makan nasi, tapi juga sebagai kudapan di sela-sela jam makan utama.