Soal kota yang sepi itu (padahal dihitung dari 2005-2019, sudah 14 tahun Naypyidaw sebagai ibu kota), kita harapkan tidak terjadi di IKN Nusantara.
Bahwa pada awalnya menjadi kota yang sepi, tentu tidak terhindarkan. Hanya saja, kalau bisa setelah 5 tahun sudah mulai ramai, sehingga lebih berdenyut sebagai IKN dan tidak membuat jenuh warga yang tinggal di sana.Â
Namun demikian, ramainya IKN juga jangan kebablasan, jangan sampai menjadi seperti Jakarta. Nah, tentu pengelola IKN Nusantara sudah tahu berapa tingkat keramaian yang ideal.
Tekad yang kuat dari pemerintah pusat dan didukung oleh semua gubernur, menjadi langkah awal yang baik dalam mewujudkan IKN Nusantara yang ideal tersebut.
Bahkan, sebetulnya tidak hanya gubernur sebagai pejabat daerah yang memberikan dukungan, para bupati dan wali kota pun juga begitu.
Kenapa dukungan pejabat daerah menjadi penting? Karena di tahap awal berfungsinya IKN Nusantara, bisa jadi pejabat daerah yang punya acara kunjungan dinas ke IKN, akan tidak semudah dibanding kalau mereka ke Jakarta.
Bupati Kabupaten Bintuni, Provinsi Papua Barat, dalam siaran berita TVRI, Minggu pagi (27/2/2022) menyatakan dukungannya untuk IKN Nusantara. Banyak alasan yang dikemukakannya, salah satunya adalah agar lebih mudah akses ke IKN dari wilayah timur Indonesia.
Pertanyaannya, apakah memang akan lebih mudah? Memang, jika ditarik garis lurus dari Bintuni ke Nusantara, lebih pendek dari jarak Bintuni-Jakarta.
Tapi, dalam transportasi ada aspek ekonomis yang harus dipertimbangkan, sehingga mungkin saja dalam rute penerbangan, dari Bintuni ke Nusantara akan lebih lama dan lebih mahal ketimbang ke Jakarta.
Sekarang ini, jalur dari Bintuni ke Jakarta dimulai dengan naik pesawat kecil ke Manokwari. Kemudian disambung dengan pesawat rute Manokwari-Jakarta dengan transit di Makassar.
Logikanya, bila nanti belum tersedia penerbangan langsung Makassar-Nusantara (kalau pun tersedia tapi dengan frekuensi yang sangat sedikit), bisa-bisa malah terpaksa transit di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta).