Meskipun harganya naik berlipat dua, warga sudah tidak tertarik lagi karena sudah mengetahui stock monyet di hutan sudah tidak ada.
Lalu Si Otong memberikan tawaran yang simpatik kepada warga desa. Ia merasa kasihan pada warga desa dan berani melepas monyet-monyet yang ada di kandang seharga Rp 350.000 saja.
Nanti setelah Pak Rakus datang lagi, warga bisa menjual Rp 500.000. Dengan berbagai cara, warga desa bisa mengumpulkan uang dan membeli monyet-monyet Si Otong.
Besoknya, diam-diam si Otong kabur ke tempat lain. Warga desa sia-sia saja menunggu kedatangan Pak Rakus, karena Pak Rakus dan Si Otong sudah bersekongkol tidak akan nongol lagi ke desa tersebut setelah menuai untung besar.
Nah,"monyet" tersebut dalam dunia nyata bisa berupa saham tertentu atau uang kripto tertentu (tertentu artinya tidak semuanya). Bahkan bisa pula berupa batu akik, ikan hias, tanaman hias, dan sebagainya.
Dulu, fenomena saham gorengan relatif sering mengemuka di Bursa Efek Indonesia (BEI), tempat saham dari berbagai perusahaan yang telah go public diperdagangkan.
Sebagai contoh, katakanlah ada saham "PT Kacang Goreng, Tbk." dari seharga Rp 25 per lembar, tiba-tiba melejit jadi Rp 100, bahkan dalam beberapa hari bisa jadi Rp 500.
Bisa jadi awalnya PT Kacang Goreng sengaja diisukan punya program hebat yang dipercaya akan meningkatkan kinerja perusahaan. Lalu, beberapa broker saham membeli sahamnya dalam jumlah besar, sehingga harga naik.
Kemudian, harga semakin menggila ketika banyak sekali investor lain yang percaya isu tersebut, berebut membeli saham Kacang Goreng.
Ujung cerita sudah bisa ditebak, ketika harga sudah demikian tinggi, beberapa broker saham yang lebih awal membeli, serentak menjual besar-besaran sehingga harganya anjlok. Investor kecil yang banyak itu tadi tinggal gigit jari.