Sedangkan anak kutu buku yang terkesan kuper (kurang pergaulan) akan kewalahan dalam memenuhi target, kecuali kalau mereka bekerja di bidang penelitian.
Jelaslah, citra anak pintar dan anak bandel bisa menyesatkan. Hal ini diharapkan tidak akan berlanjut bila sekolah-sekolah mulai menerapkan Kurikulum Merdeka.Â
Kita berharap banyak bahwa kurikulum ini menjadi jawaban dalam membentuk para remaja dan generasi muda yang lebih kompatibel dengan dunia kerja yang akan digelutinya di kemudian hari.
Harapan itu tidak berlebihan, mengingat seperti yang diberitakan Kompas.id (17/2/2022), kurikulum merdeka tersebut punya tiga keunggulan, yakni:
Pertama, lebih sederhana dan mendalam. Maksudnya fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi. Belajar lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru dan menyenangkan.
Kedua, lebih merdeka karena tidak ada program peminatan (siswa memilih pelajaran sesuai minat, bakat dan aspirasinya). Guru mengajar sesuai tahapan pencapaian dan perkembangan peserta didik.
Sedangkan sekolah memiliki wewenang mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
Ketiga, lebih relevan dan interaktif. Pembelajaran melalui kegiatan proyek memberi kesempatan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan dan kesehatan.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Bisa ditafsirkan bahwa sistem peringkat siswa dalam satu kelas tidak lagi relevan, karena masing-masing punya minat dan kelebihan yang berbeda.
Dengan demikian, apakah pelajar yang kutu buku dan kuper bukan lagi hal yang membanggakan? Toh, semuanya akan jadi anak pintar sesuai pilihannya masing-masing.