Remy Sylado adalah seniman besar serba bisa. Memang, predikat sastrawan dan penyair lebih melekat pada lelaki berdarah Minahasa itu, yang lahir di Makassar 76 tahun lalu.
Salah satu novelnya yang terkenal dan telah diangkat ke layar lebar pada 2002 berjudul Ca-Bau-Kan. Sejak usia 18 tahun, Yapi Panda Abdiel Tambayong (nama asli Remy Syaldo) telah aktif menulis cerpen dan novel.
Kegiatan tersebut dilakukan sambil menjadi wartawan majalah Tempo (1965) dan kemudian menjadi redaktur majalah musik Aktuil (1970).
Selain sastrawan dan penyair, Remy juga pernah melakoni menjadi aktor dan sutradara. Ia pun menggeluti seni rupa, sehingga bisa disebut sebagai pelukis.
Ada lagi keahliannya yang lain, yakni sebagai ahli bahasa (munsyi), antara lain karena kemampuannya berbahasa Yunani, Ibrani, Mandarin, dan Arab.
Namun, saat ini seniman besar tersebut dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk melahirkan berbagai karya seperti sebelumnya, karena sedang sakit yang tergolong berat.
Pilihan hidup menjadi seorang seniman dengan iklim berkesenian seperti di negara kita, ternyata belum mampu menyejahterakan penggiat seni di masa tuanya.
Bahkan, seniman sekelas Remy Sylado pun kurang siap secara finansial agar mampu mendapat perawatan kesehatan selayaknya.
Harian Kompas (10/2/2022) memberitakan sejumlah seniman menggalang solidaritas untuk sastrawan Remy Sylado yang tengah sakit dengan kondisi layanan kesehatan yang sulit dijangkau karena keterbatasan biaya.
Solidaritas dari rekan-rekan Remy tampak dari pameran karya lukis bertajuk "Doa untuk Remy Sylado". Pameran yang berlangsung pada 5-8 Februari 2022 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta itu juga didukung oleh Pemprov DKI Jakarta.
Adapun penyakit yang diderita Remy sejak setahun terakhir ini adalah hernia dan mendapat tiga kali serangan stroke. Perawatan hanya berlangsung di rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Setelah beritanya tersiar kepada publik, Remy dirawat di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, dengan biaya perawatan ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta.
Satu hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, betapa rentannya kehidupan pekerja seni yang mendedikasikan dirinya secara total berkesenian.
Kerentanan dimaksud dikaitkan dengan tidak adanya jaring perlindungan sosial, sehingga bila menderita sakit yang serius, kemungkinan besar keluarga yang merawat akan kewalahan.
Meskipun begitu, berkaca dari pengalaman Remy Sylado, tentu tidak bijak bila kita menakut-nakuti generasi muda yang ingin merintis karier sebagai seniman.
Soalnya, Indonesia masih butuh seniman yang menghasilkan karya yang berkualitas. Karya seni, bagaimanapun juga banyak manfaatnya, antara lain seperti dipaparkan berikut ini.
Pertama, karena berkaitan dengan keindahan, karya seni bisa mendatangkan kesenangan, dan bahkan kepuasan batin, baik bagi penciptanya maupun penikmatnya.
Tentu keindahan itu dimulai dari mata dan telinga, seperti saat kita melihat lukisan, mendengar lagu, atau membaca novel. Tapi, pada akirnya setelah melalui proses olah rasa akan dinikmati oleh "mata hati".
Kedua, sebagai hiburan bagi masyarakat. Seperti diketahui, kebutuhan manusia bukan hanya yang bersifat materi, tapi juga bagaimana agar terhibur, sehingga setelah itu bersemangat lagi bekerja.Â
Betapa keringnya hidup ini bila semuanya berlangsung secara monoton. Para pejabat pun di tengah kesibukannya masih menyempatkan diri menikmati karya seni yang disukainya.Â
Ketiga, sebagai sarana edukasi dan informasi. Banyak hal yang perlu diketahui masyarakat yang akan lebih menggugah bila disampaikan dalam bentuk karya seni.
Bahkan, karya sastra yang bernilai tinggi tidak sekadar mengedukasi, tapi juga bisa menjadi salah satu cara dalam menyampaikan kritik sosial.
Keempat, turut berkontribusi menggerakkan perekonomian. Terlepas dari kehidupan sebagian seniman yang mengalami kesulitan di masa tua, karya seni merupakan bagian dari sektor ekonomi kreatif.
Cukup banyak uang yang berputar dari penjualan karya seni seperti musik, film, novel, dan sebagainya. Banyak pula tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan yang mengelola kesenian.Â
Makanya, jadi seniman itu ketika muda dan produktif bisa memperoleh penghasilan yang lumayan. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para remaja yang ingin berkecimpung di dunia seni.
Memang, tidak semuanya menuai sukses. Tapi, itulah tantangannya bagaimana melahirkan kreativitas yang bisa disukai masyarakat banyak. Di sini, idealisme seorang seniman adakalanya harus berkompromi dengan selera pasar.
Adapun untuk jaminan di hari tua, seorang seniman harus pintar-pintar mengelola keuangan ketika masih sehat dan produktif, baik dengan disiplin menabung ataupun berinvestasi.Â
Akan lebih baik lagi bila pemerintah punya kebijakan khusus untuk perlindungan sosial para seniman. Ya, siapa tahu nanti ada semacam Jaminan Hari Tua (JHT), yang sekarang lagi diributkan tentang JHT 56 tahun, maksudnya baru bisa cair pada usia 56 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H