Ada berita yang menyegarkan di Harian Kompas (8/2/2022) terkait dengan Pemilu 2024. Guna menghindari polarisasi yang tajam, sejumlah parpol bersedia menghadirkan poros koalisi untuk mengusung pasangan capres-cawapres lebih dari dua.
Seperti diketahui, pada dua kali pilpres sebelumnya, 2014 dan 2019, polarisasi tak terhindarkan karena hanya ada dua pasang calon.
Pada dua pilpres tersebut, capresnya sama-sama Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Hanya cawapresnya yang berbeda. Prabowo menggandeng Hatta Rajasa pada 2014, kemudian Sandiaga Uno pada 2019.
Sedangkan Joko Widodo menggandeng Jusuf Kalla pada 2014 dan KH Ma'ruf Amin pada 2019. Hasilnya, seperti kita ketahui, Joko Widodo memenangkan pilpres untuk kedua kalinya.
Sempat ada wacana Joko Widodo akan diusung lagi untuk ketiga kalinya, dengan catatan tentu harus diubah dulu ketentuan undang-undang yang hanya membolehkan seseorang menjadi presiden selama dua periode.
Kemudian, ada lagi wacana penundaan pemilu karena negara sudah dua tahun terakhir ini berada dalam kondisi darurat, maksudnya kondisi pandemi Covid-19.
Tapi, akhirnya tercapai kesepakatan antara pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan DPR, dan sudah ditetapkan bahwa pemilu serentak, baik pemilu legislatif maupun pilpres, akan berlangsung pada 14 Februari 2024.
Jelaslah, pada 2024 nanti Jokowi tak akan bertarung lagi. Namun, Prabowo masih berpeluang, meskipun usianya sudah semakin lanjut.
Nah, jika hanya ada dua capres, katakanlah antara Prabowo dan seorang capres lain yang diyakini sebagai pelanjut Jokowi, bukan tidak mungkin polarisasi yang tajam tetap berlanjut.
Bukankah polarisasi antara kelompok pendukung Jokowi dan kelompok pendukung Prabowo, yang dijuluki juga sebagai rivalitas kelompok cebong versus kampret (kampret sudah berganti dengan kadrun) sekarang ini masih ada?
Buktinya, sebutan cebong dan kadrun tersebut di berbagai aplikasi media sosial masih saja dijumpai. Padahal, secara politik, Prabowo yang dulu menjadi pesaing Jokowi sudah bersatu dalam pemerintahan sekarang ini.
Nah, bila pada Pilpres 2024 katakanlah ada 3 pasang calon saja, mudah-mudahan bisa menamatkan riwayat cebong versus kadrun.
Soal siapa kandidat yang pantas, saat ini sebetulnya boleh dikatakan melimpah. Tinggal kejelian parpol saja dalam memilih salah satunya (salah dua dengan cawapres) dan kemudian mengusungnya.
Bukan hanya kejelian, tapi juga keikhlasan, bila ketua umum parpol merasa tingkat elektabilitasnya rendah, kenapa tidak mencari sosok lain yang potensial meskipun bukan dari kader partai.
Memang, karier tertinggi bagi seorang aktivis partai adalah menjadi ketua umum. Lalu, setelah menjadi ketua umum, tentu wajar bila ingin menjadi Presiden.
Tapi, semuanya tergantung pada kalkulasi politik. Apalagi, koalisi menjadi hal yang mesti ditempuh karena ada ketentuan presidential threshold.
Ketentuan tersebut mengharuskan sebuah parpol punya kursi di DPR minimal 20 persen atau memperoleh minimal 25 persen dari suara yang sah pada pemilu sebelumnya, agar bisa mengusung sendiri tanpa berkoalisi.
Dengan ketentuan tersebut, saat ini hanya PDIP sebagai satu-satunya partai yang bisa mengusung sendiri capresnya. Namun demikian, PDIP pun diperkirakan membutuhkan parpol lain agar lebih kokoh.
Sekarang, kalau melihat berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei, paling tidak ada 14 nama yang selalu disebut berpeluang menjadi capres atau cawapres
Pertama, dari kelompok gubernur terdapat nama Anies Baswedan (DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), dan Khofifah Indar Parawansa (Jawa Timur).
Kedua, dari pimpinan parpol, baik ketua umum atau jabatan lain, terdapat nama Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (Gerindra), Puan Maharani (PDIP), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), dan Muhaimain Iskandar (PKB).
Ketiga, dari kalangan pejabat atau profesional, muncul nama-nama Erick Thohir, Mahfud MD, Susi Pudjiastuti, Gatot Nurmantyo, dan Moeldoko.
Tentu, seperti telah disinggung di atas, dengan sistem pengajuan calon yang memakai threshold, tidak memungkinkan munculnya terlalu banyak calon. Tiga atau empat pasang masih memungkinkan.
Pemilu 14 Februari 2024 memang relatif masih lama. Tapi, justru itu, parpol sebaiknya mulai makin mengerucutkan pilihannya ke calon yang diyakini punya kompetensi yang mumpuni untuk memimpin negeri tercinta ini.
Jangan sampai parpol berpikir mencari calon yang punya dana tebal yang bisa membantu kas partai. Jika parpol lebih mementingkan keuntungan bagi partainya secara finansial, tentu kepentingan rakyat banyak jadi terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H