Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Korupsi Sulit Diberangus, Banyak Bibit Jadi Penerus

7 Maret 2022   08:10 Diperbarui: 7 Maret 2022   08:14 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembuatan pakaian seragam|dok. republika online, dimuat berkahkonveksi.com

Topik pilihan Kompasiana tentang seragam kerja banyak mendapat respon dari kompasianer dengan melimpahnya tulisan tentang hal ini.

Saya sendiri sudah menulis 2 artikel dan rasanya masih ada yang mengganjal yang ingin saya tumpahkan, yakni kaitan antara pakaian seragam dengan korupsi, bisa skala kecil atau skala besar.

Sebetulnya, besar atau kecil tergantung dengan jumlah karyawan yang wajib bersegaram dan proses pengadaannya apakah terpusat atau bisa didelegasikan ke daerah-daerah.

Katakanlah ada sebuah perusahaan milik negara yang punya kantor cabang yang tersebar di semua kabupaten di seluruh Indonesia.

Jika semua karyawan wajib menggunakan seragam kerja yang pengadaannya di-drop dari kantor pusat, tentu jumlah anggaran yang menjadi kewenangan divisi yang bertugas membeli seragam itu relatif besar.

Dengan asumsi ada mark up lima persen saja, nilai yang dikorup terbilang besar. Memang, di kantor pusat perusahaan besar, lazimnya ada satu divisi khusus, sebut saja Divisi Logistik, yang mengurus pembelian barang secara terpusat. 

Tapi, yang saya tulis di sini adalah korupsi skala kecil bagi pemula, katakanlah masih tahap belajar, atau sekadar coba-coba. Ini biasanya seragam untuk satu divisi atau satu kantor cabang saja. 

Misalnya, ada acara tertentu seperti refreshing para pegawai di suatu kantor yang berjumlah sekitar 70 orang. Agar lebih kompak, kepada peserta mendapat satu kaos dan satu topi yang wajib dipakai saat acara berlangsung.

Biasanya, setelah pembentukan panitia, langsung disusun anggaran yang diperlukan untuk terselenggaranya acara di atas yang cukup rinci.

Tentu, biaya pengadaan kaos seragam dan topi sudah termasuk di anggaran tersebut, dengan acuan harga yang diperoleh dari informasi per telepon atau email ke beberapa pemasok. 

Harga tesebut sebetunya masih bisa ditawar, tapi yang dicantumkan di anggaran memang harga yang masih relatif tinggi tapi masih dalam batas logis karena biasanya ada patokan harga maksimal yang dikeluarkan kantor pusat.

Anggaran tadi akan diajukan kepada pejabat yang punya kewenangan untuk itu. Bila secara total jumlahnya relatif kecil, cukup mendapat persetujuan dari kepala cabang.

Tapi, bila jumlahnya di atas angka tertentu, maka kepala cabang bertindak sebagai perekomendasi untuk mendapat persetujuan dari kepala wilayah.

Begitu disetujui, panitia, khususnya seksi pengadaan akan mencari pemasok kaos dan topi yang bersedia "memainkan" kuitansi, dengan menuliskan harga di atas jumlah yang seseungguhnya dibayarkan.

Atau, jika ada diskon, tidak ditulis di kuitansi dan tentu juga tidak dilaporkan pada pertanggungjawaban anggaran setelah acara selesai.

Saat nanti diaudit oleh internal auditor, biasanya tidak ada masalah, sepanjang kuitansinya mendukung laporan pertanggungjawaban.

Tentu, tidak di semua instansi atau perusahaan, segala hal yang menyangkut pengadaan barang perlu dicurigai. Jika para pelaksana dan pejabatnya punya integritas tinggi, hal tersebut tak kan terjadi.

Tapi, yang ingin disampaikan di sini, betapa gampang bagi mereka yang tergiur mencari uang ekstra untuk "belajar korupsi".

Apalagi "belajar korupsi" itu tidak hanya berlangsung di kantor, tapi juga terjadi pada acara tertentu yang dilakukan oleh organisasi yang bersifat informal.

Katakanlah ada pengurus alumni dari sebuah sekolah yang ingin mengadakan reuni, biasanya perlu pengadaan baju seragam juga.

Hanya saja, untuk acara informal, bila ada anggota yang kritis mempertanyakan pertanggungjawaban keuangan kepada panitia, dan panitia dianggap tidak mampu menjelaskan secara memuaskan, bisa menimbulkan percekcokan.

Tapi, disadari atau tidak, banyak bibit korupsi di sekitar kita. Bahkan, mahasiswa yang sering demo antikorupsi pun, ada yang mencari uang ekstra dari acara-acara kemahasiswaan.

Karena selalu ada bibit penerus, korupsi menjadi sulit diberangus. Tapi jangan putus asa. Selain upaya dari berbagai instansi seperti sekarang ini, peran sekolah dan keluarga sangat penting untuk menghalangi munculnya bibit baru.

Peran tersebut tidak sekadar memberi pengetahuan tentang pentingnya kejujuran, tapi dengan memberi contoh dan keteladanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun