Anggaran tadi akan diajukan kepada pejabat yang punya kewenangan untuk itu. Bila secara total jumlahnya relatif kecil, cukup mendapat persetujuan dari kepala cabang.
Tapi, bila jumlahnya di atas angka tertentu, maka kepala cabang bertindak sebagai perekomendasi untuk mendapat persetujuan dari kepala wilayah.
Begitu disetujui, panitia, khususnya seksi pengadaan akan mencari pemasok kaos dan topi yang bersedia "memainkan" kuitansi, dengan menuliskan harga di atas jumlah yang seseungguhnya dibayarkan.
Atau, jika ada diskon, tidak ditulis di kuitansi dan tentu juga tidak dilaporkan pada pertanggungjawaban anggaran setelah acara selesai.
Saat nanti diaudit oleh internal auditor, biasanya tidak ada masalah, sepanjang kuitansinya mendukung laporan pertanggungjawaban.
Tentu, tidak di semua instansi atau perusahaan, segala hal yang menyangkut pengadaan barang perlu dicurigai. Jika para pelaksana dan pejabatnya punya integritas tinggi, hal tersebut tak kan terjadi.
Tapi, yang ingin disampaikan di sini, betapa gampang bagi mereka yang tergiur mencari uang ekstra untuk "belajar korupsi".
Apalagi "belajar korupsi" itu tidak hanya berlangsung di kantor, tapi juga terjadi pada acara tertentu yang dilakukan oleh organisasi yang bersifat informal.
Katakanlah ada pengurus alumni dari sebuah sekolah yang ingin mengadakan reuni, biasanya perlu pengadaan baju seragam juga.
Hanya saja, untuk acara informal, bila ada anggota yang kritis mempertanyakan pertanggungjawaban keuangan kepada panitia, dan panitia dianggap tidak mampu menjelaskan secara memuaskan, bisa menimbulkan percekcokan.
Tapi, disadari atau tidak, banyak bibit korupsi di sekitar kita. Bahkan, mahasiswa yang sering demo antikorupsi pun, ada yang mencari uang ekstra dari acara-acara kemahasiswaan.