Padahal, jika kita kritis dengan mencermati calon yang akan dipilih, sangat mungkin terdapat orang-orang yang berintegritas tinggi dan layak dipercaya menyuarakan kepentingan rakyat.
Siapa tahu, dalam rangka menjaring pemilih usia muda, petugas pelaksanaan pemilu membuat Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang bernuansa Hari Kasih Sayang.
Kedua, para kontestan yang ikut pemilu agar tulus dalam menyayangi masyarakat. Motifnya terjun menjadi politisi jangan hanya karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok.
Bentuk sayang ke masyarakat bukan dengan melakukan "serangan fajar", istilah yang kerap dipakai untuk membagi-bagi amplop berisi uang ke calon pemilih.
Serangan fajar termasuk dilarang karena itu namanya main "politik uang", sama dengan menyogok rakyat. Â Menyayangi rakyat berarti mendengar dengan tulus aspirasi masyarakat dan gigih berupaya mewujudkannya
Ketiga, sebaliknya masyarakat pun perlu menyayangi pemimpinnya, tapi bukan dengan cara membabi buta. Â Jika pemimpinnya melenceng, masyarakat perlu mengingatkan sebagai wujud rasa sayang, agar pemimpin tidak terpesorok.
Jika nanti yang menang bukan partai atau bukan capres yang kita pilih, tetap kita harus menghormati presiden terpilih dan partai yang menguasai parlemen, sepanjang semuanya sudah menjalankan undang-undang yang berlaku.
Tentu, masyarakat itu sendiri harus menjadi warga yang baik dengan mematuhi hukum, bukan berebut proyek setelah calon yang diusung memenangkan pemilu.
Keempat, masyarakat juga perlu saling menyayangi sesamanya dengan tidak menganggap musuh warga yang berbeda pilihan politiknya. Toh, semuanya demi Indonesia tercinta.
Pemilu 14 Februari 2024 perlu disosialisasikan menjadi pemilu yang bertaburan kasih sayang yang tulus antar sesama anak bangsa, meskipun pilihan politiknya berbeda-beda.
Cukup sudah rivalitas cebong versus kadrun (dulu cebong versus kampret). Beban sejarah permusuhan di masa lalu jangan diwariskan ke adik-adik atau anak-anak kita, harus diputus sampai di sini.